Oleh : Robertus Nauw (*)
Etika politik dan etika di dalam politik,kadangkala harus dibedakan, dalam mendalami posisi berbagai macam fakta politik liar di antero Papua Barat Daya (PBD) yang sarat dengan sentiment emosional politik. Pasca pesta politik perdananya, untuk menentukan siapa pejabat publik dan orang nomor satu di provinsi PBD ini.
Dalam opini penulis kali ini, penulis tertarik membaca soal etika politik elit lokal PBD sebagai sebuah tanggung jawab bersama untuk mengedukasi masyarakat dalam hal melihat pertarungan etika politik dan etika di dalam politik, terutama melihat realitas politik rekomendasi di kubuh partai Golkar PBD yang menjadi fokus penulis.
Diberbagai media lokal, hasil wawancara Ec. Lambert Jitmau, MM (LJ) telah mengungkapkan kekejaman kekuasaan elit nasional dan elit lokal yang tanpa moral dan etika dalam berpolitik, yang memainkan praktek kompromi kekuasaan, entah karena tidak ingin melihat elit yang satu unggul dari elit yang lain. Sehingga mereka saling jegal dan mengalami proses tambal sulam rebut kekuasaan dengan segala cara, dan fakta itu sudah harus ditelan sebagai sebuah realitas politik.
Dalam pendekatan realisme ini, sebuah pilihan dari seorang pejabat publik yang dihianiti perlu merespon situasi kompromi politik atas upaya merebut kekuasaan yang telah ia telan pil pahitnya, anehnya ia tidak kecewa, namun sebaliknya ia beryali mainkan strategi kontra kekuasaan. Mengendalikan segala sumber daya yang ia miliki di publik untuk menunjukan etika politiknya.
Elit seperti ini adalah pejabat publik yang unik, karena ia mampu kendalikan lingkungannya dan nilai dari seorang pejabat publik adalah mampu kendalikan masyarakat dan isu-isu publiknya, namun tetap harus mampu mengartikan penghianatan itu sebagai bagian pemahaman kolektif atas realitas yang ada. Dan membalas dengan kerja-kerja beretika dalam politik santun sebagai dendam positif untuk mengedukasi rakyat.
Jika seorang pejabat publik mampu mengetahui, apa yang harus diakukan selanjutnya dan sebaliknya mengetahui apa yang seharusnya tidak usa dilakukan untuk memenangkan tujuan mereka, maka ia adalah pejabat publik yang berkarisma memainkan etika di dalam politik. Etika di dalam politik itu lebih ke psikologi seseorang, sebagai sumber pembahasan persoalan mereka di ruang publik. Karena dari era Plato dan Aristoteles, soal etika dan politik, dua hal ini sudah menjadi pembahasan.
Aristoteles misalnya; memisahkan etika dan politik menurutnya, etika adalah urusan personal, sedangkan politik adalah urusan negara dan masyarakat. Namun, ketika keduanya (etika dan politik) disatukan, memasuka isu etika di dalam politik atau sebaliknya, maka bahasan pemahaman moral atau filosofi seseorang terhadap moralitas, menjadi unsur penting baginya dalam mengambil keputusan.
Penulis salut akan keputusan LJ sebagai pejabat publik dalam berbagai rilisnya ke media, Ia mengatakan dirinya akan melawan semua penghianatan itu dengan cara-cara santun, bahkan ia membuktikan missinya untuk menampar wajah pengurus pusat dan penguru lokal di tubuh partainya di kalangan Golongan Karya, agar mereka tau bahwa nilai dari seorang pejabat publik sekalas dirinya. Akan turun gunung dan berkampanye meminta kepada publik, untuk tidak memilih kader di partainya untuk memegang kekuasaan di provinsi ini.
ia hanya ingin membuktikan bahwa, pengurus pusat yang telah makan asam garam dengan upaya politik yang ingin merebut kekuasaan di daerah, salah besar dalam membuat kebijakan politik dan mereka keliru dalam membaca peta politik lokal.
ketika Lambert Jitmau marah dan ketika beliau hadir dalam berbagi media ungkapkan diksi yang agak tendensius dengan seruan dan ajakan agar jangan warga Sorong Raya pilih elit tertentu dalam pesta demokrasi di Papua Barat Daya, itulah etika karakternya sebagai pejabat publik dan etikanya di dalam berpolitik ia wujudkan sebagai petarung.
Mungkin saja ia dinilai sakit hati, dinilai emosional, dinilai pemarah, oleh para netizen sesorong raya yang berpikir bahwa beliau seorang pejabat publik yang emosional, atau itu bukti bahwa LJ bukan pemimpin yang baik. Itu urusan lain, karena etika politik dan etika dalam politik itu dua hal yang berbeda dan ia telah dan sedang memainkan itu.
hari ini, apa yang ia jalankan sebagai pejabat publik berkampanye, publik bisa menilai soal berhasil atau tidak. Hasil dari pesta demokrasi yang dimulai dengan penghianatan partai politiknyapun, berahir tumbang dengan kekalahan telak. Itu sebenarnya kekalahan elit nasional dan kekalahan elit lokal. bahkan Itu kekalahan etika politik dan kekalahan etika dalam politik yang bobrok. Dan kemenangan kandidat lain di pilkada ini, bukan saja kemenangan rakyat. Namun jauh lebih penting dari itu, adalah kemenangan bagi elit yang lihat memainkan etika politik dan etika dalam politik.
soal lebih sakit yang mana; pawai keliling kota dengan rekomendasi yang esok hari tak berguna di muka pintu pendaftaran KPU ? atau lebih sakit yang berhasil tikung dengan rekomendasi namun kala telak dalam pesta demokrasi, karena tidak mampu keluar sebagai petarung sejati yang memenangkan pertarungan yang sudah dimulai dengan berdara-dara ? biarkan publik yang menilai.
sekali lagi diskursus ini telah selesai, realitas sosial itu punya etika dan etika dalam politik yang sudah tumbang. Itu artinya perdebatan ini, tidak perlu disuburkan lagi di kalangan akar rumput, ditumbuhkan lagi dikalangan simpatisan fanatik. Baik di kubu LJ atau BS, karena etika politik pejabat publik kita, masing-masing telah diuji dalam sebuah realitas politik. baik itu “Political Ethics” atau “Ethics In Politics” sekali lagi antero Papua Barat Daya telah menyaksikan itu, sebagai dialetika politik yang keras dan menguras strategi politik masing-masing.
Yang perlu antero Papua Barat Daya tau, dalam permainan dan percaturan politik itu ada semangat bersaing, ada kewaspadaan, ada taktik dan tentunya ada upaya untuk menghalangi orang lain agar dirinya yang berhasil. Suasana pilkada gubernur PBD memang riang, namun sesungguhnya terjadi kompetisi yang sangat keras di penghujung permainan, pemenang itu biasanya mendapatkan hadiah namun tidak bagi yang menang tikungan.
Karena dasar dari semua aturan adalah sportivitas, masing-masing pejabat harus menjunjung tinggi nilai dan perilaku kesatria, sekalipun di sana ada kegesitan dan siasat yang juga menjadi penentu kemenangan, selain sebuah keberuntungan.
Dalam dunia politik, akan ada persaingan yang sungguh-sungguh dari setiap pejabat publik untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya, tawaran yang diserap di pasar dengan permainan sehat, belum tentu dapat diterapkan. Mengingat kreativitas sesama elit dalam berkampanyepun sering mengandung unsur untuk menjatuhkan, atas nama kompetisi, munculkan gagasan, merek program, selalu mereka dan tim kampanye mereka membuat publik bingung dalam menentuan pilihan dan sekali lagi itu strategi elit agar tetap mereka menjadi yang paling unggul dari situasi itu.
Yang mereka lupa, kualitas dan pelayanan yang lebih baik setelah memperoleh kekuasaan itu jauh lebih penting. karena rakyat ibarat kursi dan penguasa menjadi pemain yang merebut kursi itu, siapa pun bermain tidak sportif maka rakyat berhak untuk singkirkan.
Panggung politik untuk memperoleh kekuasan memang menjadi target untuk diraih, pemilihan dilakukan sangat ketat karena kursi yang tersedia memang terbatas sekalipun banyak orang mewakili rakyat, atas nama rakyat untuk berupaya mendapatkan kursi kekuasaan itu.
Tidak penting, berapa miliar biaya untuk kursi kekuasaan itu, karena bukan hanya uang yang harus dikeluarkan saat kampanye berlangsung, karena acap kali juga berjatuhan korban dalam proses itu.
Papua Barat Daya ada satu nyawa melayang dalam peristiwa politik saat pilkada, belasan masyarakat sipil kita ditangkap, fasilitas publik dibakar dan kita berharap pengorbanan itu akan bersanding dengan hasilnya saat pemimpin genggam kemenangan mutlak yang membuat seluruh program dan kebijakannya dapat mengemudikan pemerintahan menuju arah yang lebih baik bagi rakyat.
tentu harapan untuk hidup damai dan sejahtera akan menjadi tujuan rakyat, sekalipun impian itu tak selalu menjadi kenyataan setelah mendapatkan kursi kekuasaannya, Karena kita tau, kompromi dalam menjalankan kekuasaan selalu utamakan kondisi politik utang budi.
Sementara persoalan politik dan ekonomi pada pemerintahan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tak berkesudahan, semoga situasi ini tidak menghambat jalannya roda pemerintahan agar tidak mengorbankan kepentingan rakyat. Karena rakyat benar-benar menjadi kuda tunggal yang ditunggangi pada saat kampanye dan saat pemilihan, selalu mengatasnamakan rakyat, semoga saat kemenangan diraih, posisi rakyat tidak mereka lupakan.
Dalam pengamatan penulis, penulis juga salut untuk elit sekelas Drs. Bernat Sagrim, MM yang berjiwa besar mengakui kekalahan juga adalah sebuah etika politik dan etika dalam politik yang baik yang harus dicontohi kelak, mari kita bahu membahu mendukung jalannya pemerintahan dari pemenang pesta demokrasi hasil pilihan rakyat. Apalagi pemenang 01 PBD Elisa Kambu, S.Sos juga adalah sesama anak Papua Maybrat dan sesama elit Maybrat harus apresiasi dan diberi dukungan. semua dinamika itu adalah seni dalam berpolitik, dan jauh lebih terhormat semua elit memainkan itu di atas politik dan etika, menggunakan gaya mereka masing-masing. SEMOGA
(*) Penulis Adalah Pegiat Media dan Mantan Penulis di Political Strategy Consulting Service (PSCS) Jayapura