Maybrat, Papua Barat Daya – Ketika mentari pagi menembus kabut tipis di tepian Danau Ayamaru, air yang dahulu jernih dan bening di tepian danau, kini tercemar.

Permukaan danau yang pernah memantulkan langit Maybrat itu kini dihiasi botol plastik, kantong kresek, sisa popok, dan limbah domestik lainnya.  

Bagi masyarakat adat Maybrat, Danau Ayamaru bukan hanya sekadar danau. Ini adalah pusaka, sumber kehidupan, dan pusat kebudayaan lokal yang diwariskan turun-temurun. Namun kini, warisan itu kian memudar.

Nama Ayamaru sebagai identitas yang menunjukan tempat, berasal dari dua kata: “aya” yang berarti air dan “maru” yang berarti danau. Jadi Ayamaru berarti “air danau”. Nama ini sesunggunya juga merujuk pada Danau Uter di Aitinyo, yang dijuluki oleh Majalah National Geographic sebagai danau karst terjernih di Indonesia.

Dalam sebuah observasi lapangan pada 9-11 Juni 2025 lalu, Yayasan Peduli Tata Ruang (Petarung), komunitas lokal yang selama ini berjuang dalam isu edukasi lingkungan dan tata ruang partisipatif, mengungkap kenyataan pahit: Danau Ayamaru dan Uter berada dalam situasi darurat lingkungan.

“Ini bukan hanya masalah kebersihan. Ini soal arah hidup kita. Kalau danau rusak, kita kehilangan pusat kehidupan kita sendiri,” kata Imanuel Tahrin, aktivis lingkungan dan salah satu pendiri Komunitas Petarung.

Melalui sejumlah dokumentasi foto lapangan oleh tim Petarung, tampak tumpukan-tumpukan sampah terkumpul dalam trashbag besar, hasil pembersihan komunitas. Yang menyedihkan, sebagian besar sampah ini berasal dari warga kampung di Maybrat yang berdomisili di sekitar danau.

“Kita buang limbah langsung ke danau seolah-olah air ini tidak hidup. Padahal danau ini punya roh. Danau atau alam ini merasa disakiti oleh kita sendiri, orang Maybrat dan orang luar yang numpang lewat, keluh Tahrin dengan nada lirih.

19 Kantong Sampah dan Kenyataan Pahit

Petarung mendatangi tiga titik penting: Kepala air Danau Ayamaru di Distrik Ayamaru, lokasi wisata Gunung Petik Bintang di Kampung Konja, Distrik Aifat Utara, yang menjadi spot wisata persinggahan yang berada di ketinggian Pegunungan Kepala Burung ke arah wilayah Tambrauw dan Manokwari, dan Danau Uter di Distrik Aitinyo.

Di setiap lokasi, sampah menumpuk. Dua trashbag penuh terkumpul di lojkasi Kepala Air Danau Ayamaru. Dua lagi di Gunung Petik Bintang. Sedangkan yang paling mengejutkan: 19 trashbag di Danau Uter hanya dalam satu hari bersama pemuda lokal.

“Ini bukan sekadar kerja bakti. Ini semacam alarm keras. Danau Uter yang seharusnya bening dan tenang, sudah dicekik oleh limbah,” ungkap Yoab Iek, seorang pemuda yang tinggal di tepian Danau Uter. Menurutnya, banyak warga belum sadar kalau air di danau itu akan tercemar dan bau oleh sampah dan limbah rumah tangga yang terbuang langsung ke danau.

Dari pengamatan lapangan, tim Petarung juga menemukan realita yang memilukan. Meski banyak sampah telah mengapung di permukaan danau Uter atau terbenam dalam dasar danau, sejumlah warga masih memanfaatkan air danau Uter untuk kebutuhan hidup.

Mereka memasang pipa penghubung untuk menarik air dari danau. Di lokasi permukaan danau yang dekat dengan area dimana sampah plastik mengapung, bercampur dengan material organik dalam jumlah besar.

Tata Ruang dan Pola Hidup

Masalah yang dihadapi Ayamaru dan Uter tak hanya berhenti pada sampah dan air limah rumah tangga yang terbuang begitu saja hingga menjangkau danau. Hutan-hutan penyangga yang menjadi sumber aliran air danau pun kian tergerus oleh perladangan berpindah, pembukaan permukiman baru, dan akses jalan yang dibuka tanpa perencanaan matang.

Pemerintah memang telah mencoba merespons dengan membangun dua bendungan untuk mengembalikan muka air danau yang sebelumnya menyusut dan mengering di sejumlah area. Namun jika limbah terus mengalir dan hutan terus ditebang, bendungan itu hanyalah solusi jangka pendek.

“Masalah ini berlapis. Harus kita benahi dari pola pikir. Kesadaran warga harus dibangun secara kolektif. Tidak bisa hanya andalkan proyek pemerintah atau kegiatan komunitas,” tegas Robert Nauw, jurnalis lokal yang juga aktif di Petarung.

Ia melihat pentingnya gerakan yang masif dari akar rumput. “Kita semua harus bergerak. Dari sekolah, gereja, aparat kampung, sampai anak muda. Danau ini bukan punya pemerintah, ini milik kita bersama. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?”

Petarung, dalam rilisnya, memberikan sejumlah rekomendasi: mulai dari penegakan aturan lingkungan, penyediaan TPST, edukasi publik, hingga penghijauan kawasan hutan penyangga. Tapi yang terpenting, perlu kesadaran kolektif karena rekomendasi hanyalah langkah awal.

Selain itu, perlu adanya komitmen untuk melakukan gerakan bersama dari sejumlah pihak untuk menangani persoalan lingkungan di Danau Ayamaru dan Uter. Gerakan ini perlu dimulai dari kampung-kampung di sekitar danau.

Menuju Masa Depan Hijau Maybrat

Di akhir kegiatan survei dan aksi menggerebek sampah di danau Uter, bapa Bernard Brin, seorang nelayan lokal yang menyaksikan aksi lingkungan ini tampak bersemangat dan senang. Sebab area permukaan danau yang tadinya tercemar sampah plastik bercampur material organik, telah dibersihkan.

Ia lalu menaiki perahunya dan mendayung ke tepi area danau yang telah dibersihkan sehingga  tampak jelas ikan-ikan sedang berenang. Bapa Bernard lalu membuang jaring dan menangkap seekor ikan mujair berukuran besar. Ia tersenyum sambil melihat ke arah tim Petarung dan berkata. “Saya mau danau tetap bersih biar gampang tangkap ikan yang sehat,” katanya polos.

Kalimat itu terdengar sederhana. Tapi di telinga para pegiat lingkungan, itu seperti panggilan untuk bertindak lebih cepat. Memulai langkah kecil dengan harapan yang besar.

Petarung percaya, danau yang bersih dan sehat bukanlah impian yang mustahil. Dengan melibatkan semua pihak, pemerintah, warga, pemuda, komunitas, dan media, danau Ayamaru dan Uter bisa dipulihkan.

Agar kedua danau legendaris itu bisa kembali menjadi kebanggaan, jati diri, sumber kehidupan dan spot pariwisata unggulan daerah. Bukan hanya untuk Maybrat, tapi juga bagi Tanah Papua dan dunia.

“Kalau kita tak bertindak hari ini, besok mungkin sudah terlambat. Tapi kalau kita mulai sekarang, dari hal-hal kecil, memungut sampah, tidak buang sampah dan limbah sembarangan, bicara soal ini di gereja atau sekolah, maka kita sedang menanam harapan.” harap Imanuel Tahrin.

Ia menerawang sambil menatap ke arah danau Uter, yang tampak hening oleh bias cahaya keemasan senja sore yang indah, namun sesak oleh luka pencemaran sampah dan limbah. Berharap hari esok, danau Uter akan kembali berkilau oleh warna biru tosca sebening kristal.

Danau Ayamaru dan Uter kini menanti perhatian kita. Bukan menanti bantuan dari luar. Tapi menanti kesadaran dari dalam: dari warga, dari pemerintah, dari generasi muda. Supaya danau bisa kembali bernapas. Supaya anak-anak Maybrat bisa kembali bermain di air yang jernih.

Supaya Maybrat bisa kembali bersinar sebagai tanah hijau yang lestari. Semua itu dimulai dari satu hal kecil: tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga danau seperti pertama. (Julian Haganah Howay)