Oleh : Leonathan Tahoba *

Ketika berbicara tentang pembangunan, sering kali perhatian kita terpusat pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, jalan yang diaspal, dan bangunan yang menjulang. Namun, ada satu fondasi penting yang kerap terabaikan: karakteristik geologi suatu wilayah.

Di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, pemahaman terhadap bentang alam karst seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap rencana pembangunan. Kawasan karst bukan sekadar bentang fisik, tetapi ruang hidup yang kompleks, penuh makna ekologis dan sosial bagi masyarakat setempat.

Dalam ilmu geologi, kawasan karst adalah bentuk lahan yang terbentuk melalui proses pelarutan batuan karbonat seperti batu kapur dan batugamping oleh air hujan atau air tanah. Proses ini menciptakan fitur-fitur khas seperti gua, mata air, sungai bawah tanah, dan sistem drainase bawah permukaan yang kompleks. Karakteristik-karakteristik ini telah diklasifikasikan secara rinci oleh Van Zuidam pada tahun 1983.

Di Indonesia, kawasan karst mencakup sekitar 15,4 juta hektar atau 8 persen dari luas daratan nasional. Wilayah-wilayah karst tersebar di berbagai daerah, mulai dari Perbukitan Bahorok di Sumatera Barat, kawasan Pangkep-Maros di Sulawesi Selatan, hingga Raja Ampat, Sorong Selatan, Maybrat, Kaimana, dan Pegunungan Cartenz di Papua.

Umumnya, kawasan karst terbentuk di zona pengendapan laut dangkal dan terletak dekat bibir pantai, seperti di Raja Ampat, Kaimana, dan Biak. Namun, ada pula anomali geologis menarik seperti kawasan karst yang letaknya jauh dari laut, misalnya di Maybrat dan Pegunungan Cartenz.

Maybrat: Kabupaten Karst yang Terabaikan

Kabupaten Maybrat memiliki luas wilayah 5.461,69 km² dan sekitar 60 persen wilayahnya terdiri dari kawasan karst. Artinya, kawasan ini menyimpan kekayaan geologi yang sangat besar. Namun, ironisnya, pembangunan infrastruktur di Maybrat kerap tidak mempertimbangkan kondisi geologisnya.

Dalam usia 16 tahun sejak dimekarkan, pembangunan di Maybrat menunjukkan kecenderungan mengabaikan aspek geologi. Padahal hal ini berdampak langsung terhadap siklus alam dan keseimbangan ekosistem wilayah ini.

Bentang alam karst di Maybrat ditandai oleh banyaknya mata air, sungai permukaan dan bawah tanah, serta gua-gua karst yang unik. Namun, dalam praktik pembangunan, khususnya proyek jalan, banyak kasus di mana jalur infrastruktur justru memotong atau menutupi jalur air dan mata air.

Dampaknya, terjadi penyumbatan oleh sedimentasi dari material gusuran, penurunan debit air, bahkan kekeringan di sejumlah wilayah. Contoh konkret terlihat di wilayah Susumuk. Berdasarkan data survei Tim PETARUNG Kabupaten Maybrat, tercatat ada 48 sumber mata air pada tahun 2020. Namun, hanya tersisa 28 mata air pada tahun 2025.

Sebanyak 20 di antaranya mengalami penyumbatan akibat sedimentasi proyek pembangunan jalan. Sungai-sungai sekitar pun menunjukkan penurunan debit air dan perubahan warna serta suhu air. Beberapa sungai seperti Kali Kaca dan Kali Ombak di Maybrat juga menjadi contoh nyata dampak buruk pembangunan tanpa kajian geologi.

Vegetasi di kawasan karst pun sangat sensitif. Proses adaptasi tumbuhan terhadap tanah karst yang mudah mengering memakan waktu lama. Penggusuran dan pembukaan lahan di kawasan ini menyebabkan kehijauan sulit kembali, terutama bagi tanaman berukuran besar yang memerlukan kestabilan tanah dan kelembapan.

Dalam konteks penyiapan regulasi, sebenarnya, sudah ada payung hukum yang mengatur perlindungan kawasan karst. Di antaranya meliputi; UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN; dan Permen ESDM No. 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.

Namun, regulasi hanya menjadi dokumen mati bila tidak diimplementasikan secara serius. Kabupaten Maybrat yang kini berusia 16 tahun seharusnya sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2009 pasal 6.

Dimana RTRW ini harus disusun berdasarkan pemahaman mendalam terhadap karakteristik geologi setempat. Bukan semata-mata berdasarkan keinginan politis atau tekanan investasi.

Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Ke depan, pembangunan di Maybrat harus diarahkan pada pendekatan yang lebih humanis dan ramah lingkungan. Kajian menyeluruh terhadap bentang alam karst menjadi prasyarat utama.

Tak hanya untuk kehutanan dan pertanian, tetapi juga untuk pariwisata berkelanjutan (sutainable tourism) dan pengembangan kawasan perkotaan. Ekosistem karst adalah sistem yang saling terhubung: jika satu aspek terganggu, maka keseluruhan sistem bisa runtuh dan itu menjadi awal dari bencana, baik alam maupun sosial.

Kawasan karst bukan hanya cerita geologi, tapi kisah hidup yang menyatu dengan alam dan manusia. Kabupaten Maybrat punya kesempatan emas untuk menjadi contoh pembangunan yang berpijak pada pengetahuan lokal dan ilmu alam.

Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika kita mulai dari satu hal sederhana, tapi mendasar: Menghormati tanah tempat kita berpijak. Mari jaga alam kita untuk masa depan yang berkelanjutan demi anak cucu.

(*) Penulis pemerhati lingkungan dan pembangunan Kabupaten Maybrat.