Oleh : Eddy Way*

“Pada kegiatan musyawarah perencanaan Pembangunan daerah (MUSRENBANGDA), kamis, 8 Mei 2025, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri memaparkan point-point penting tentang fakta yang dapat dijadikan pemantik merencanakan dan membangun daerah. Disebutkan tentang prosentasi kemiskinan di Papua Tengah per Maret 2024 adalah 29,76%”.

Tingginya kemiskinan di Papua Tengah bukan semata karena ketidakmampuan masyarakat untuk bekerja, atau karena kurangnya potensi sumber daya. Masalah utama justru terletak pada satu titik yang sangat fundamental namun jarang disorot secara jujur: uang tidak banyak beredar dan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Ini bukan sekadar asumsi, tapi realitas yang terjadi di banyak daerah, terutama di tanah Papua.

Dalam istilah ekonomi, situasi ini disebut sebagai akumulasi, ketika uang menumpuk pada segelintir orang dalam jumlah besar, sedangkan mayoritas masyarakat hanya menjadi penonton. Mereka melihat, tahu, bahkan dekat dengan orang-orang yang punya uang, namun tidak pernah menjadi bagian dari sirkulasi ekonomi itu sendiri. Sementara yang sedikit ini leluasa memainkan uang dan pengaruh, yang banyak hanya bisa menghela nafas panjang dan menunggu “kasihan” datang.

Papua Tengah adalah wilayah yang penuh potensi. Kekayaan alamnya melimpah, manusianya kuat, dan semangat kolektifnya masih hidup. Namun semua itu tidak otomatis menjadi kesejahteraan jika uang, sebagai medium penggerak ekonomi, tidak hadir secara merata.

Jika uang hanya singgah di meja proyek, di rekening oknu pejabat, atau di kantong-kantong bisnis tertentu yang itu-itu saja, maka yang terjadi adalah stagnasi. Ekonomi tidak tumbuh untuk semua, tetapi hanya untuk yang punya akses terhadap kekuasaan dan jaringan tertentu.

Dampak Akumulasi yang Nyata

Fenomena akumulasi bukan hanya tentang ketimpangan ekonomi. Ia adalah akar dari banyak masalah sosial lainnya: ketergantungan, kecemburuan, konflik, bahkan frustasi kolektif.

Ketika hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki daya beli, maka aktivitas ekonomi pun menjadi lamban. Pasar tidak ramai, usaha kecil sulit bertahan, dan inovasi mati sebelum berkembang.

Akumulasi juga melahirkan ketergantungan. Orang banyak menjadi bergantung pada yang segelintir: untuk kerja, untuk pinjaman, bahkan untuk makan. Ini adalah bentuk kolonialisme baru dalam skala mikro, di mana segelintir orang menjadi “tuan” dan sisanya menjadi “pengikut.” Ketergantungan seperti ini menggerus martabat, meruntuhkan daya juang, dan membunuh inisiatif.

Lebih jauh lagi, ketika akumulasi dibiarkan tanpa intervensi kebijakan, maka yang terjadi adalah pengulangan sejarah ketimpangan yang terus diperpanjang. Anak-anak yang lahir di keluarga tanpa akses uang akan mewarisi kemiskinan struktural.

Mereka akan tumbuh dengan beban yang tak mereka pilih, dan hidup di sistem yang tak memberi ruang naik kelas. Di sinilah negara dan pemerintah daerah tidak boleh tutup mata. Soal uang bukan hanya soal angka ini soal distribusi keadilan.

Distribusi: Jalan Tengah yang Adil dan Strategis

Satu pemikiran yang mesti dikedepankan sebagai solusi adalah pendekatan distribusi. Distribusi bukan sekadar membagi uang secara merata dalam arti literal. Lebih dari itu, distribusi adalah usaha sadar untuk menciptakan keadilan ekonomi melalui akses yang setara terhadap sumber daya, peluang, dan kekuatan membeli.

Distribusi memastikan bahwa setiap orang memiliki uang. Kalimat ini tampak sederhana, tetapi mengandung muatan ideologis dan praksis yang sangat besar. Sebab dengan uang, seseorang bisa mengambil keputusan, menentukan arah hidupnya, dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi secara aktif. Dengan uang, seseorang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada belas kasihan orang lain, atau pada proyek-proyek jangka pendek dari pemerintah.

Dalam tataran praktis, distribusi bisa diwujudkan melalui berbagai mekanisme: program padat karya, bantuan langsung tunai yang disertai pendampingan produktif, dana desa yang benar-benar menyentuh warga paling bawah, akses modal usaha mikro, akses modal usaha bebas anggunan, hingga skema ekonomi solidaritas berbasis kampung atau komunitas.

Yang paling penting adalah uang tidak boleh berhenti di tangan perantara. Ia harus sampai ke warga, ke ibu-ibu di pasar, ke tukang batu di kampung, ke pekerja serabutan di kota sampai pada pinggiran kota, ke komunitas yang terisolasi, ke para nelayan, ke petani, ke pemuda-pemudi yang baru selesai sekolah, dan lainya.

Dua Dampak Strategis Distribusi

Jika distribusi dilakukan secara serius dan konsisten, maka setidaknya akan muncul dua dampak strategis yang sangat penting:

Pertama, setiap orang akan memiliki uang untuk digunakan dalam transaksi. Ini artinya roda ekonomi lokal akan bergerak. Pasar-pasar kampung akan ramai, usaha kecil bisa bertahan, dan masyarakat punya pilihan untuk membeli, menjual, bahkan menabung.

Ketika daya beli meningkat, maka produksi pun akan mengikuti. Tidak ada lagi ekonomi yang hanya hidup musiman, bergantung pada proyek atau bantuan pemerintah. Ekonomi rakyat akan tumbuh dari bawah, dan bukan semata dari atas.

Kedua, masyarakat bisa memutuskan ketergantungan kepada segelintir orang. Ketika setiap orang memiliki daya tawar karena punya uang sendiri, maka relasi kuasa yang timpang akan terkikis. Orang tak lagi takut kehilangan akses, karena dia bisa menciptakan aksesnya sendiri.

Pemuda tak perlu lagi mengemis pekerjaan, karena dia bisa menciptakan lapangan kerja kecil dari uang yang dimilikinya. Ketergantungan bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga mentalitas. Distribusi uang akan membantu membentuk kemandirian mental.

Papua Tengah: Butuh Kebijakan yang Mendorong Peredaran Uang

Pemerintah daerah Papua Tengah memiliki peran kunci dalam membalikkan keadaan ini. Perlu ada keberanian politik untuk berpindah dari logika akumulasi menuju logika distribusi.

Ini bukan perkara mudah, apalagi jika sebagian aktor pengambil keputusan justru menjadi bagian dari kelompok akumulatif. Namun perubahan tidak pernah dimulai dari zona nyaman.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana caranya agar uang bisa lebih merata beredar? Ada beberapa pendekatan konkret yang sudah dilakukan bahkan perlu diperkuat:

Pertama, desentralisasi anggaran berbasis kampung. Dana-dana pembangunan sebaiknya disalurkan langsung ke kampung dan dikelola oleh lembaga adat atau struktur kampung secara kolektif, dengan sistem pengawasan terbuka. Ini akan mencegah penumpukan uang di tangan pihak tengah dan memastikan warga menjadi pelaku utama.

Kedua, proyek berbasis tenaga lokal. Setiap proyek infrastruktur atau pembangunan harus mewajibkan penggunaan tenaga kerja lokal sebanyak mungkin. Jangan biarkan uang proyek dibawa keluar oleh kontraktor dari luar yang tidak menanamkan apapun selain beton.

Ketiga, pemihakan pada usaha kecil. Pemerintah mesti membuat regulasi yang memprioritaskan usaha mikro dan kecil dalam pengadaan barang dan jasa, dengan proses yang disederhanakan dan tidak memberatkan. Sistem pembayaran juga harus dipercepat agar uang segera berputar di masyarakat.

Keempat, Pendidikan literasi keuangan. Mendistribusikan uang saja tidak cukup. Masyarakat juga harus diajak belajar bagaimana mengelola, menggunakan, dan mengembangkan uang secara bijak. Ini butuh pendampingan, bukan hanya ceramah.

Kelima, menciptakan kebijakan khusus untuk masyarakat golongan ekonomi lemah mendapatkan uang melalui akses perbankan tanpa anggunan. Ini butuh perlakukan menyertakan uang untuk subsidi suku bunga bank.  

Distribusi sebagai Jalan Keadilan

Kita harus mulai jujur dalam melihat persoalan kemiskinan di Papua Tengah. Ini bukan hanya soal tidak adanya uang, tetapi soal uang yang tidak merata dan tidak berputar.

Akumulasi menciptakan jurang sosial yang dalam, dan pada akhirnya memperlemah struktur sosial kita dari dalam. Distribusi bukan hanya kebijakan ekonomi. Ia adalah jalan menuju keadilan.

Ketika uang tersebar secara merata, maka masyarakat tidak hanya mendapatkan daya beli, tetapi juga mendapatkan harapan, martabat, dan masa depan. Sebab uang bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk menciptakan kehidupan yang lebih setara dan bermartabat.

Papua Tengah tidak boleh terus menjadi wilayah yang kaya sumber daya tapi miskin manusia. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mendistribusikan uang sebagai hak, bukan sekadar bantuan. Karena di ujung distribusi yang adil, ada kebangkitan bersama.

(*) Penulis adalah pemerhati pembangunan, berstatus ASN di Nabire, Papua Tengah.