Oleh: Imanuel Tahrin (*)
Jauh sebelum lonceng gereja berdentang dan Injil mendarat di tanah ini, Suku Maybrat telah mengenal Sang Pencipta. Bukan melalui dogma yang tertulis, melainkan melalui bahasa hati dan warisan leluhur.
Keberadaan-Nya adalah sebuah kenyataan yang melampaui batas waktu, sebab “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah dijadikan” (Yohanes 1:1-3, TB). Jauh sebelum agama formal datang, Tuhan telah ada, dan Dia telah menyatakan diri-Nya.
Kami menyebut-Nya dengan sebutan dalam bahasa Maybrat, yakni Yefun, Siwa, dan Mafif. Kepercayaan ini begitu melekat hingga nama tempat pun menjadi saksi, seperti Fra Siwa yang secara harfiah berarti ‘batu Tuhan’ dalam bahasa Indonesia.
Sebelum berdirinya rumah ibadah formal, penyembahan kepada Tuhan telah terpatri dalam ritus keseharian. Kami beribadah di tempat-tempat yang kami anggap sakral, tempat yang penuh kuasa: mos, Totor, atu, dan subair.
Tempat-tempat ini adalah altar permohonan, di mana doa dan harapan disampaikan. Fenomena ini sejalan dengan pernyataan bahwa “sebab apa yang tidak tampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat dilihat dengan terang oleh akal dari karya-karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1:20, TB). Artinya, Sang Pencipta telah memberikan petunjuk tentang diri-Nya melalui alam semesta dan hati nurani.
Sejarah mencatat, Injil Kristus baru masuk ke wilayah Maybrat pada tahun 1950-an ke atas. Jauh sebelum itu, sebelum era 1950-an, masyarakat Maybrat telah tenggelam dalam spiritualitas mereka, menyembah Tuhan dengan bahasanya sendiri.
Ketika hendak menyelenggarakan acara adat, masyarakat Maybrat mendatangi tempat-tempat keramat seperti Totor, mos, atu, dan subair. Di sanalah permohonan dipanjatkan dengan keyakinan penuh agar dikabulkan. Dan ketika permohonan itu terwujud, bagi kami, itulah realitas surgawi, itulah surga versi budaya Maybrat.
Sebuah renungan muncul: Seandainya puncak perkembangan Ilmu Pengetahuan dahulu terjadi bukan di Yunani, sehingga kita menerima Yesus dari perspektif narasi Israel, melainkan muncul dari peradaban Maybrat, maka niscaya akan terlahir ajaran Injil atau Yesus Kristus dalam bingkai filosofi dan kultur Maybrat.
Sebab, kedudukan Surga yang sesungguhnya adalah misteri mutlak milik Tuhan semata. Siapa yang dapat menyangkal bahwa Surga itu bisa saja ada di mos, di Totor, atu, atau subair? Karena di mata orang Maybrat, di situlah letak koneksi terdalam dengan Yang Maha Kuasa. Inilah realitas iman, sebuah perspektif yang melampaui batas-batas doktrin.
Fakta universal menunjukkan bahwa setiap suku di dunia memiliki konsep Ketuhanan yang dianut sebelum hadirnya agama-agama besar. Nilai-nilai moral universal telah hidup dalam nasihat orang tua kami: “habenis ma, num boa sai, nesif bo mae” (maknanya: berbuat baik, jaga kesatuan, hindari perselisihan) dan melalui setiap larangan tradisional yang ternyata sudah sejalan dengan larangan-larangan yang kemudian tertulis dalam kitab suci agama. Dalam hal ini, “Sebab apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat melakukan apa yang diwajibkan hukum Taurat oleh dorongan kodrat, maka, walaupun tidak berhukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi dirinya sendiri” (Roma 2:14, TB).
Adat dan kearifan leluhur adalah fondasi moralitas, yang mendahului agama. Budaya adalah esensi dan benteng identitas sebuah bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi yang mengikis jati diri, budaya adalah warisan berharga yang wajib kita pertahankan dan lestarikan. Sebab, budaya tanpa manusia yang menjaganya, seolah-olah adalah kehidupan yang tak memiliki arti. Salam
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini pendiri Yayasan Peduli Tata Ruang domisili di Susumuk Maybrat


