Lami Faan (*)
KICAUAN burung tak semerdu hari-hari biasanya. Sinar mentari pagi masih malu-malu menampakan wajahnya di ufuk timur. Di balik langit yang kelabu, tak ada asap dapur dan kebun yang mengepul. Suasana di pagi itu Jumat, 2 September 2021, tampak sunyi dan mencekam bagi setiap jiwa.
Tersiar kabar bahwa Tentara Pembebesan Nasioanal Papua Barat (TPNPB) Komando Daerah Pertahanan (KODAP) IV Sorong Raya di bawah komando Brigjen Deny Mos, telah mengeksekusi 4 anggota TNI yang bertugas di Posramil Kisor Distrik Aifat Selatan, Kabupten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya.
Sebagai warga masyarakat Maybrat, kami sudah terbiasa menghadapi konflik horizontal. Misalnya, konflik Pemilukada, Pileg dan perebutan kedudukan ibu kota Kabupaten Maybrat. Namun konflik kali ini sedikit berbeda karena ada unsur politik Papua Merdeka sehingga pendropan militer secara massif dikerahkan untuk mengamankan wilayah tersebut.
Situasi ini berdampak langsung di wilayah Aifat Selatan dan Aifat Timur Raya. Tim Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat dalam laporannya mencatat, sebanyak 2.068 orang telah mengungsi. Para pengungsi ini berasal dari 50 kampung dan 5 distrik. Mereka terpaksa mengungsi karena takut dan terancam akan tindakan represif TNI/Polri.
Insiden ini memaksa orang meninggalkan rumah, harta benda, kebun, dusun dan kampung halaman yang selalu dirindukan. Para pengungsi telah menyebar ke hutan, ke distrik lain dan kabupaten terdekat seperti Distrik Aitinyo, Distrik Aifat Utara, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten dan Kota Sorong.
Kondisi Paska Konflik
Minggu pagi 4 September 2024, lonceng Gereja Katolik Santa Maria Bunda Allah tak lagi berbunyi seperti biasanya. Gereja sunyi menanti umatnya. Saat itu kampung Faan Kahrio Distrik Aifat Timur Tengah, kosong tak ada penghuni. Tertinggal kami berlima bersama hewan peliharaan yang berkeliaran di kampung. Anjing melolong mencari tuannya yang tak kunjung kembali.
Dibalik kesunyian terdengar gemuruh di seberang Kampung Tahsimara, Distrik Aifat Selatan yang dibatasi derasnya kali/sungai Kamundan. Ternyata itu adalah arakan 22 truk Dalmas yang mengangkut personil polisi dan 2 unit tank entah milik TNI/Polri, sedang menuju Kampung Faan Kahrio dan Kamat.
Saat itu waktu di handphone saya menunjukan pukul 14:00 siang di hari minggu. Di dalam dan sekitar bagnunan gedung gereja sunyi melopong. Namun tak menyurut iman saya untuk terus berdoa meminta pertolongan Tuhan agar kami berlima terhindar dari kekejaman TNI/Polri, seperti yang kami dengar dan baca di setiap laporan pelanggran HAM masa lalu di Papua, Aceh dan Timor Leste.
Tuhan pun menjawab doa saya. Rumah kami ternyata terlewatkan dari pandangan TNI yang sedang melakukan pemeriksaan di beberapa rumah warga di Kampung Faan Kahrio.
Hari minggu yang menegangkan jiwa raga itu pun berlalu. Keesokn harinya, Senin 5 September 2021, bersama kedua anak saya (Ayosami dan Fajar) kami meninggalkan kampung halaman. Saat itu kami diantar keponakan saya menggunakan sepeda motor yang sempat diobrak-abrik personil TNI. Untungnya motor ini masih mampu mengantar kami dengan selamat sampai di Ayawasi, Distrik Aifat Utara.
Sejam setelah berada di Ayawasi, saya diminta kaka perempuan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kampung Tahsimara, Disrtik Aifat Selatan, menjemput kerabat lain yang masih bersembunyi di hutan. Jadi kami menyewa 3 mobil avansa dan 2 hilux.
Namun sebelum bergerak, kami perlu melalui beberapa prosedur seperti membuat surat pengantar dari Kepolisian Sektor (Polsek) Aifat. Selain itu meminta surat ijin dan keterangan jalan dari Komando Rayon Militer (Koramil) Aifat yang berada di Kumurkukek, Ibu Kota Maybrat.
Kemudian surat tersebut harus ditunjukan ke Pos TNI di Kampung Susumuk yang saat itu menggunakan Pastori Gereja Kristen Injili (GKI) Emaus. Hingga saat ini tempat itu masih menjadi pos utama TNI non organik.
Surat-surat yang dibutuhkan akhirnya selesai. Mobil yang kami tumpangi pun melaju melewati beberapa kampung yang sudah tak berpenghuni. Menuju titik pertemuan yang sudah disepakati melalui telpon seluler. Diatas jembatan kali Kamundan yang merupakan penghubung jalur utama Distrik Aifat Selatan dan Aifat Timur Raya, kami selanjutnya berjumpa dengan sekelompok orang yang sudah nenunggu dengan wajah penuh cemas.
Sekitar pukul 13:00 siang, sejumlah kerabat yang sudah keletihan disertai rasa lapar setelah tiga hari berkelana di hutan mencari keselamatan, pamit lebih awal ke tempat aman. Kemudian empat mobil pun berlalu meninggalkan saya bersama seorang sopir non Papua dan dua kerabat yang sejak pagi saya tinggalkan di kampung Faan Kahrio. Derasnya arus kali Kamundan mengantar kepergian mereka dalam keheningan.
Empat jam menunggu dalam kepanikan, terlihat dua pemuda dating menggotong seorang bapak paruh baya yang berjalan tertatih-tatih karena cacat di kedua kakinya sejak lahir. Saya menghampiri mereka di ujung jembatan dengan membawa sebotol air mineral dan sebungkus biskuat coklat.
Setelah meneguk air dalam botol itu, tersirat senyuman tipis dibalik bibir yang pucat. Sambil berbisik hampir tak terdengar oleh deruhnya arus kali Kamundan, bapak tua itu berkata kepada saya “Anak, Tuhan pake ko untuk datang bantu bapak ade”. Kami pun bergegas untuk pergi dengan hati yang hampa dibalut ketakutan akan moncong senjata.
Setengah jam kemudian, mobil yang kami tumpangi diberhentikan paksa oleh 5 anggota TNI. Terlihat di perempatan jalan di Kampung Susumuk, personil TNI telah memblokade jalan menggunakan beberapa drum kosong. Sebelumya warga sipil Kampung Susumuk sudah lebih dulu mengungsi ke tempat yang aman paska penyerangan di Kisor. Jadi kampung dalam situasi kosong dan diduduki personil TNI non organik.
Kami selanjutnya diarahkan oleh personil TNI ke Gereja GKI Emaus Susumuk. Di depan teras gereja itu terlihat wajah-wajah rapuh yang sibuk menenangkan tangisan anak-anak yang lapar dan haus, dibalik tatapan prajurit TNI yang penuh waspada di sudut serambi gereja. Kelima mobil yang kami tumpangi beserta barang bawaan pun tak luput dari pemerikasaan.
Setelah melalui serangkaian pemerikasaan panjang dan pertanyaan yang intimidatif, kami dijinkan pergi. Namun pikiran saya menjadi cemas. Kerabat kami yang menggunakan empat mobil lain di belakang masih tetap ditahan. Avansa putih pun melaju membawa kami pergi dengan seribu tanya, dalam benakku mengapa mereka masih tetap tertahan di gereja itu?
Setelah sebulan, saya mendapat jawabannya. Menurut informasi yang saya peroleh dari seorang kerabat, saat itu handphone dari mereka yang diperikasa oleh TNI di Gereja GKI Emaus, telah ditemukan foto jembatan di perbatasan Kampung Faan Kahrio dan Kampung Kamat yang dirubuhkan kelompok TPNPB Kodap IV Sorong Raya.
Setelah sampai di Ayawasi, kami bercerita ke kerabat tentang apa yang kami alami. Melalui upaya dialog antara anggota DPRD Maybrat, pejabat terkait dengan pihak TNI yang bertugas di Susumuk, warga yang dihalangi selama 6 jam di gereja, akhirnya diperbolehkan pergi.
Kebijakan Negara Yang Hampa
Memasuki tahun keempat pasca Konflik Kisor 2021 hingga saat ini (2025), belum ada penanganan yang serius oleh pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar korban pengungsi internal Maybrat. Penderitaan rakyat diabaikan oleh negara. Kebijakan yang dibuat seakan melindungi kepentingan para elit lokal, petinggi militer (TNI (TNI/Polri) dan kaum oligarkhi di Jakarta.
Upaya pemulangan pengungsi ke kampung halamannya masing-masing, terkesan dipaksakan oleh Pemda Maybrat. Sebab dilakukan tanpa pertimbangan berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang harus diperhatikan semua pihak.
Berbagai persoalan sektoral, telah menjadi kendala utama yang dihadapai korban pengungsi internal Maybrat. Misalnya pendidikan anak yang terbengkalai, buruknya pelayanan kesehatan dan ekonomi yang dialami para pengungsi. “Lebih baik makan papeda di rumah sendiri, daripada makan roti tapi tinggal di orang lain pu rumah. Kami kasih tinggal kampung, rumah, kebun, dan harta benda. Semua hancur seperti mimpi,” keluh seorang mama yang saat itu mengungsi ke Ayawasi bersama keluarganya.
Nasib masyakat sipil korban konflik bersenjata di Maybrat semakin memprihatinkan dengan berbagai masalah yang kompleks. Situasi itu dialami semua korban, baik yang masih menetap maupun yang sudah kembali ke kampung halaman. “Mereka yang sudah kembali ke kampung lebih menderita dari kami yang masih menetap di Sorong. Walaupun pemerintah tidak perhatikan, kami masih bisa berkebun dan jualan ke pasar. Tapi mereka yang di kampung sudah tidak bisa buat apa-apa karena tentara dong awasi. Kalau sakit cari jalan sendiri untuk berobat ke kota,” ungkap seorang bapak yang saat ini mengungsi di Sorong.
Dari situasi konflik Maybrat, penyangkalan tentang realita penderitaan terus berlanjut. Para elit sibuk memharumkan nama tanpa memperdulikan derita para korban.
Pendekataan Keamanan Mengusik Warga Sipil
Kehadiran TNI/Polri di Kabupaten Maybrat dengan alasan keamanan turut memberi dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang diungkap oleh seorang bapak berinisial JN,
“Pendekatan TNI membuat masyarkat tidak nyaman. Setiap hari minggu saat misa di gereja, mereka melakukan penjagaan. Memangnya ada penjahat di gereja?”
Pendropan militer yang masif dengan menempatan pos di setiap kampung, dengan menggunakan fasilitas publik seperti sekolah, gereja, balai kampung, dan rumah warga sebagai pos sementara. Situasi ini terjadi di Kampung Sory, Kisor, Fuog, Faan Kahrio, Ayata, Kamat, dan Aisa. Kampung-kampung tersebut berada di wilayah Distrik Aifat Selatan dan Aifat Timur Raya.
Selain mengawasi setiap aktifitas warga yang hendak ke kebun, berburu di hutan atau ke dusun milik masyarakat, para personil TNI juga mengambil alih (menduduki) tanah adat mereka sebagai wilayah operasi militer. Akibatnya masyarakat terusir dan menjadi orang asing di tanahnya sendiri!
(*) Lami Faan adalah penulis artikel ini. Ia salah satu pengungsi Maybat yang kini bermukim di Sorong. Tulisan ini dihasilkan melalui pelatihan menulis yang difasilitasi Yayasan Avaa (Maret 2025). dikutip dari WeneBuletin edisi 24 Maret 2025