Oleh  : Yoab Orlando Iek*

Kabupaten Maybrat adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya. Kabupaten ini dibentuk pada tahun 2009 sebagai pemekaran dari Kabupaten Sorong. Pusat Pemerintah kabupaten ini berada di Kumurkek.

Hasil sensus penduduk 2020, Maybrat memiliki  penduduk sebanyak  41. 991 Jiwa. Penduduk asli maybrat adalah suku Maybrat yang terdiri dari beberapa sub suku yaitu Ayamaru, Aifat dan Aitinyo dan Mare. Namun juga ada yang menambahkan sub suku Yumasssesss (Distrik Ayamaru Utara dan Yumasssess.

Dinamika konflik antara  masyarakat  beserta elit lokal Maybrat terjadi sejak dimekarkan  dari Kabupaten Sorong, dilatari perebutan letak ibu kota kabupaten; antata di pusat Distrik Ayamaru yang berada di tepian danau Ayamaru dan Kumurkek, Aifat.

Dualisme ibu kota diantara dua kelompok ini memiliki alasan yuridis. Kelompok pertama berlandaskan UU No 13 Tahun 2019 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat dengan ibu kota kabupaten berada di Kumurkek, AIfat. Sedangkan kelompok kedua yang menginginkan ibu kota berada di Ayamaru berdasarekan putusan MK Nomor 18/PUU-VII/ 2009 terkait  uji materi UU Nomor 13 Tahun 2009  tentang Kabupaten Maybrat.

Dualisme ini bisa dilihat sebagai bagian dari  kepentingan para elit politik lokal yang berbasis pada  identitas primordial wilayah yang sempit sehingga menciptakan fragmentasi di masyarakat Maybrat yang dulunya di sebut suku A3 (Aifat, Ayamaru dan Aitinyo). Narasi harga diri yang melekat pada posisi ibu kota kabupaten membenturkan dua kelompok utama yang bertarung sehingga berdampak pada aktivitas pelayanan publik dan pemerintahan menjadi terganggu.

Akhirya 2019, melalui mediasi pemerintah pusat, terjadi kesepakatan atau penandatanganan damai antara elit-elit yang  terlibat lansung dalam kepentingan konfllik letak ibukota. Dengan begitu, ada kesepakatan yang pada intinya mengakhiri konflik dan Kumurkek diakui sebagai ibu kota.

Sayangnya, latar belakang konflik ini belum berakhir. Konflik pun berlanjut ke arena politik praktis. Salah satu dinamika yang menarik di Kabupaten Maybrat yaitu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

Tergolong usia yang masih mudah, Kabupaten Maybrat baru melakukan Pemilihan Kepala Daerah sebanyak tiga kali: tahun 2011, 2017, dan 2024. Pilkada tahun 2011 menangkan oleh pasangan Bernard Sagrim – Karel Murafer. Lalu di periode kedua (2017) dimenangkan Bernard Sagrim yang berpasangan dengan Paskalis Kocu.

Selanjutnya pada Pemilukada Bupati Maybrat di tahun 2024, pasangan Karel Murafer-Ferdinando Solossa tampil sebagai pemenang mengalahkan beberapa pasangan yang ikut bertarung.

Konflik Pilkada dan Minimnya Pendidikan Politik

Jika diamati, di balik kemenangan berturut-turut pasangan yang bertarung, sebenarnya bukan menghadirkan pertarungan ide dan  gagasan atau program yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat Maybrat. Namun semata-mata yang terjadi adalah permainan wacana politik identitas (primordial) berbasis marga, kampung, dan kekerabatan sub suku di kalangan orang Maybrat.

Permainan narasi “politik harga diri” pada kelompok tertentu dikelola sedemikian rupa oleh kandidat beserta mesin politiknya di lapangan. Situasi ini menciptakan sentimen primordial dan  konfliik antara masing-masing pendukung sehingga berdampak pada konflik horizontal yang berujung pada keretakan relasi sosial-keluarga, pengrusakan materi, bahkan penghilangan nyawa.

Berdasarkan pengamatan penulis secara lansung pada tahun 2011, salah satu kasus di Kampung Tehak Kecil, Distrik Aitinyo, adalah tindakan kekerasan berupa pemukulan yang dilakukan oleh salah satu pendukung Bernard Sagrim dan Karel Murafer kepada Ibu O.Way, pendukung Agus Saa dan Andi Antoh sehingga menyebabkan luka sobek di kepala.

Namun dari kronologis kejadiaan tersebut tidak ada proses hukum bagi pelaku yang melakukan pemukulan. Kasus serupa pun terjadi di tempat lain, dimana Ketua KPU Maybrat saat itu, Amos Atkana, mengalami luka sobek di kepala akibat kena sayatan parang oleh salah satu pendukung paslon saat pleno penetapan perolehan suara di Kumurkek.

Pola-pola kekerasan yang sama berlanjut pada Pilkada Bupati Maybrat 2017. Pertarungan antara dua kandidat: Bernard Sagrim-Paskalis Kocu melawan Karel Murafer-Yance Way, mengulangi pola konflik yang sama.

Sebab dua pasangan tersebut tidak memberikan pemahaman berdemokrasi dan  pendidikan politik yang baik kepada masing-masing pendukung. Terutama agar lebih kritis menganalisa dinamika dan situasi politik Maybrat sehingga potensi konflik horizontal pada masing-masing pendukung dapat diminimalisir.

Yang terjadi di lapangan adalah isu-isu politik identitas (primordial) dikelola sedemikian rupa oleh kandidat beserta elit-elit pendukung kepada masyarakat (basis massa pemilih) sehingga  berdampak pada kasus pembakaran rumah di Kampung Susumuk, Distrik Aifat.

Berdasarkan wawancara penulis kepada seorang korban konflik Pilkada Maybrat 2017 bernama DT, dirinya menjelaskan bahwa rumahnya telah dibakar pendukung pasangan Karel Murafer-Yance Way sehingga menyebabkan kerugian material yang sangat besar.

Selanjutnya pada Pilkada Maybrat di tahun 2024, narasi-narasi primordial yang memicu fragmentasi di masyarakat pun tidak jauh berbeda. Pada moment politik ini telah diikuti tiga kandidat: Karel Murafer-Ferdinando Solossa, Korneles Kambu-Zakeus Momau, dan Agus Tenau-Marthen Howay.

Meskipun ada kesempatan untuk beradu gagasan dan tawaran program lewat debat kandidat yang dilaksanakan KPU selama dua babak, namun politik identitas tetap dimainkan tiga kandidat  berdasarkan orientasi sub suku yang ada di Maybrat. Situasi ini pun berdampak pada perpecahan masyarakat.

Ini seperti yang penulis saksikan di kampung sendiri di wilayah Distrik Aitinyo. Para pendukung dari pasangan Korneles Kambu-Zakeus Momau menyatakan kepada pendukung pasangan lawan di wilayah Aitinyo bahwa jika tidak memilih pasangan yang diunggulkan mereka, maka orang Aitinyo yang bersangkutan dianggap penghianat atau mereka disebut orang-orang yang menjual Aitinyo.

Dalam situasi demikian, ada penyebaran narasi primordial “orang Aitinyo wajib pilih orang Aitinyo”. Kasus ini mengindikasikan bahwa kandidat mengunakan isu identitas untuk mendulang suara di wilayah basisnya. Hal yang sama pula yang dilakukan oleh dua kandidat lainnya di masing-masing tempat asalnya.

Ironisnya, di Kampung Kambufatem, Distriik Aitinyo Barat, ketegangan soal orientasi memilih kandidat yang berlainan, telah menyebabkan kasus pembunuhan. Diketahui pelaku merupakan pendukung pasangan Korneles Kambu-Zakeus Momau terhadap korban yang merupakan pendukung pasangan Karel Murafer-Ferdinando Solossa.

Padahal  pelaku dan korban memiliki hubungan keluarga. Sayangnya, hanya karena perbedaan orientasi memiliki kandidat politik akhirnya salah satu menjadi korban.

Narasi Politik Primordial Jadi Pemecah

Dari pemaparan terkait dinamika konflik politik di atas, dapat disimpulkan bahwa  elit-elit lokal Maybrat telah  mengeksploitasi masyarakat berbasis primordial sempit (marga dan kampung) sehingga menjadi keuntungan tersendiri untuk meraup suara.

Sementara masyarakat yang menjadi basis pemilih tidak teredukasi secara politik melalui visi-misi maupun program yang ditawarkan para kandidat ketika nantinya terpilih. Konsekuensinya masyarakat selalu menjadi korban dari janji-janji manis para kandidat yang belum tentu dapat direalisasikan jika memimpin Kabupaten Maybrat.

Sudah menjadi tradisi bahwa elit-elit lokal Maybrat bersama kandidat pilihan mereka sering memanfatkan ketidaktahuan masyarakatnya dan manipulasi kesadarann untuk kepentingan meraih jabatan di birokrasi pemerintah. Padahal ketika mendapatkan jabatan, ia lupa  atas kontrak politik yang telah disepakati bersama rakyat.

Sementara segregasi antara sesama masyarakat di akar rumput tetap berlanjut. Pola ini pun berulang-ulang pada setiap pemilihan kepala daerah maupun pemilu legislatif sehingga masyarakat hanya dijadikan  objek atas kepentingan elit lokal.

Semboya orang Maybrat  “Nhaf Sau Bonout Sau” atau “satu komitmen satu tujuan” yang menjadi landasan berpikir-bertindak turun-temurun, serasa luntur akibat politik praktis yang dieksploitasi oleh elit lokal Maybrat sendiri. Yakni politik lokal yang cenderung menarasikan friksi-friksi primordial yang sempit.

Karena itu menjadi tanggung jawab bersama setiap elemen masyarakat Maybrat  untuk lebih  kritis menyikapi dinamika politik praktis. Ini agar kita tidak terjebak dalam narasi-narasi sesat dan dangkal oleh elit-elit lokal.

Kehidupan dan kebersamaan orang maybrat yang sudah ada sejak turun-temurun harus di jaga dan di rawat demi keberlansungan kehidupan di Tanah Maybrat maupun Tanah Papua. Nhaf Sau Bonout Sau, satu komitmen satu tujuan!

Analisis Teoritis Terhadap Fenomena Politik Primordial

Dalam masyarakat komunal tradisional, seperti yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Tanah Papua, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi, identitas kolektif seperti suku, marga, agama, dan wilayah adat masih menjadi fondasi kuat dalam struktur sosial-politik masyarakat.

Dalam konteks kontestasi politik lokal seperti pemilihan kepala daerah, identitas-identitas ini menjadi basis utama dalam membentuk aliansi politik, loyalitas pemilih, dan legitimasi kandidat. Clifford Geertz dalam karyanya The Interpretation of Cultures (1973) memperkenalkan istilah “ikatan primordial” (primordial ties), yang merujuk pada ikatan emosional dan simbolik yang bersumber dari asal-usul etnis, agama, bahasa, atau budaya bersama.

Dalam konteks politik lokal, ikatan primordial ini sering dijadikan sumber legitimasi oleh kandidat yang berasal dari kelompok mayoritas atau dominan dalam suatu komunitas adat. Geertz menekankan bahwa di banyak masyarakat tradisional, politik tidak sekadar rasionalitas institusional, melainkan “perpanjangan dari ikatan emosional yang mendalam terhadap kelompok asal”. Dengan demikian, kandidat yang berasal dari suku, marga, atau komunitas adat yang sama dengan pemilih memiliki keunggulan simbolik dan emosional.

Selanjutnya dalam The Moral Economy of the Peasant (1976), James C. Scott menguraikan bagaimana masyarakat tradisional menilai pemimpin berdasarkan moralitas dan keterikatan sosial, bukan semata berdasarkan program rasional atau teknokratis.

Pemilih dalam masyarakat komunal lebih menghargai pemimpin yang dianggap “orang sendiri” karena mereka diyakini akan lebih menjaga kepentingan kolektif komunitas. Dalam konteks pilkada, hal ini menjelaskan mengapa kandidat dari marga atau suku yang sama lebih mudah diterima, bukan karena programnya, tapi karena kedekatan emosional dan moral dengan komunitasnya.

Edward Aspinall dalam sejumlah penelitiannya, termasuk di Southeast Asian Affairs (2011), juga menjelaskan bahwa di banyak daerah Indonesia, politik lokal didominasi oleh jaringan patron-klien yang dibungkus dalam narasi primordial. Dalam sistem ini, kandidat tidak hanya membeli suara, tetapi juga membangun ikatan kekerabatan, pertukaran ekonomi, dan janji perlindungan sosial berdasarkan struktur tradisional.

Dalam masyarakat adat, pemimpin yang berasal dari marga tertentu dianggap sebagai “perwakilan” kolektif yang akan mengembalikan keuntungan material dan simbolik kepada komunitasnya. Narasi politik pun dibentuk untuk memperkuat hubungan kekerabatan ini.

Dalam banyak konteks masyarakat adat, institusi politik modern (partai, DPRD, kebijakan publik) belum mengakar kuat dalam sistem nilai lokal. Hal ini membuat narasi politik rasional seperti program pembangunan, visi-misi teknokratis, atau janji reformasi sulit dimaknai secara utuh oleh masyarakat. Sebaliknya, identitas komunal lebih mudah diterima karena sesuai dengan kerangka nilai yang hidup di komunitas.

Di Papua, misalnya, sistem “noken” dalam pilkada menjadi simbol nyata bahwa suara komunitas ditentukan berdasarkan keputusan kolektif adat, bukan individu. Dalam situasi seperti ini, narasi primordial seperti “kami harus pilih anak suku kita sendiri” menjadi sangat kuat. Dalam konteks seperti ini, narasi identitas menjadi alat utama mobilisasi politik.

Narasi politik primordial tetap subur dalam masyarakat komunal tradisional karena: Adanya ikatan emosional dan simbolik kuat terhadap identitas kolektif (Geertz, 1973). Politik dinilai berdasarkan moralitas komunitas, bukan rasionalitas program (Scott, 1976). Jaringan patron-klien dibangun berdasarkan ikatan adat dan kekerabatan (Aspinall, 2011).

Ketiadaan institusi rasional-modern membuat identitas lebih mudah menjadi alat mobilisasi politik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada keterbelakangan institusional karena keputusan politik lebih ditentukan oleh afiliasi identitas ketimbang kualitas kepemimpinan dan kebijakan. Namun, dalam konteks masyarakat adat, ini juga bisa dipahami sebagai mekanisme perlindungan kolektif terhadap dominasi eksternal.

Politik Primordial dan Relasi Klas dalam Perspektif Marxis

Dalam pendekatan Marxis klasik, politik tidak dapat dilepaskan dari struktur ekonomi dan relasi produksi yang mendasarinya. Karl Marx menegaskan bahwa “basis ekonomi” (struktur kelas dan produksi) menentukan “superstruktur” (ideologi, politik, hukum, dan budaya), termasuk bentuk-bentuk identitas seperti etnisitas atau agama (Marx & Engels, 1848/1970).

Dalam konteks ini, politik primordial, yakni politik berbasis identitas kultural seperti suku, marga, dan agama dapat dilihat sebagai bagian dari superstruktur yang berfungsi mempertahankan dominasi kelas penguasa (elit politik lokal), termasuk dalam komunitas masyarakat adat yang relasi komunalnya masih kuat.

Salah satu konsep penting dalam Marxisme adalah kesadaran palsu (false consciousness), yakni kondisi ketika kelas pekerja atau rakyat tertindas tidak menyadari posisi subordinat mereka karena dikaburkan oleh ideologi dominan (Marx, 1970).

Dalam masyarakat komunal tradisional, narasi primordial seperti “kita satu suku, satu marga dan satu keluarga” atau “kita saudara seagama” sering kali digunakan oleh elite lokal untuk membentuk loyalitas politik yang tidak berdasarkan kepentingan material rakyat, melainkan berdasarkan ikatan identitas.

Menurut Althusser (1971), negara dan kelas penguasa menggunakan ideological state apparatuses, seperti lembaga agama, pendidikan, dan tradisi budaya, untuk mempertahankan hegemoni mereka. Dalam konteks ini, politik primordial dapat dilihat sebagai bentuk ideologi yang menyamarkan ketimpangan kelas di balik solidaritas semu berbasis etnis, marga/fam atau agama.

Dalam banyak kasus, elite adat atau elite lokal dalam masyarakat tradisional berfungsi sebagai agen lokal dari kekuatan kapitalis, baik nasional maupun internasional. Mereka memanfaatkan identitas suku atau marga untuk membungkus kerja sama mereka dengan proyek-proyek kapitalis seperti tambang, sawit, perambahan hutan, atau pembangunan infrastruktur skala besar yang sering kali merugikan rakyat kecil.

Sebagaimana dijelaskan oleh Roseberry (1994), proses kapitalisme tidak selalu datang dengan kekerasan terbuka, tetapi seringkali disertai negosiasi dan kooptasi elite lokal yang memiliki legitimasi kultural. Hal ini memperkuat struktur kelas dan menciptakan aliansi antara kapitalisme dan kekuasaan tradisional, yang kemudian menghambat kesadaran kelas masyarakat akar rumput.

Marx telah menekankan pentingnya pembangunan kesadaran kelas (class consciousness) sebagai syarat utama bagi perubahan sosial. Namun, dalam masyarakat di mana politik primordial masih kuat, solidaritas kelas sering dikalahkan oleh fragmentasi identitas. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, misalnya, dukungan terhadap kandidat tidak lagi didasarkan pada program atau kepentingan kelas, melainkan pada ikatan darah atau wilayah asal.

Erik Olin Wright (1997) menambahkan bahwa identitas sosial bisa menjadi “jembatan” atau “penghalang” bagi solidaritas kelas. Ketika identitas digunakan untuk menutupi ketimpangan ekonomi dan memperkuat posisi kekuasaan elite, ia berubah menjadi penghalang bagi perubahan struktural.

Dengan demikian, dalam perspektif Marxis, politik primordial di masyarakat tradisional bukan sekadar bentuk loyalitas budaya, melainkan alat ideologis yang digunakan untuk mempertahankan struktur kelasyang timpang.

Dengan membingkai eksploitasi dalam narasi kebudayaan atau kekerabatan, elite lokal dan kapitalis global dapat melanggengkan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, perjuangan kelas tidak hanya harus melawan eksploitasi ekonomi, tetapi juga harus membongkar konstruksi ideologi identitasyang menutupi ketimpangan tersebut.

(*) Penulis adalah pemuda Maybrat yang peduli terhadap dinamika politik lokal dan pembangunan masyarakat.