Oleh Usman Hamid (*)

Meskipun menuai polemik, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang TNI pada Kamis (20/3/2025).

Polemik atas UU TNI terbagi dalam dua kubu. Kubu idealis diwakili koalisi masyarakat sipil (Koalisi) yang khawatir melemahnya supremasi sipil, merosotnya profesionalisme militer, dan kembalinya dwifungsi militer. Kubu realis diwakili oleh politisi DPR, pejabat dan mantan pejabat pemerintah yang percaya RUU ini memperkuat supremasi sipil, profesionalisme, dan menyangkal ada pasal-pasal dwifungsi.

Supremasi sipil adalah konsep yang mengacu pada kekuasaan dan kontrol pemerintah sipil atas militer dalam negara demokratis. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat melalui pemilu, otoritas sipil adalah pembuat kebijakan dan strategi pertahanan, termasuk pengerahan militer. Hal ini bertujuan untuk mencegah intervensi militer dalam politik seperti negara-negara otoriter.

Dwifungsi militer adalah konsep tentang peran ganda militer dalam sejarah, terutama selama era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Demokrasi Pancasila (1965-1998). Dalam dwifungsi, militer bukan hanya alat pertahanan keamanan negara untuk melindungi kedaulatan negara, tetapi juga memiliki peran dalam politik pengambilan keputusan dan kebijakan negara.

Praktik dwifungsi militer merambah ke multifungsi: keterwakilan politik di parlemen tanpa pemilu, kekaryaan di jabatan sipil tanpa mengikuti jenjang karier aparatur sipil negara bahkan menduduki jabatan politis (menteri), peran dalam bisnis, keberadaan komando teritorial yang mengikuti struktur pemerintahan sipil, peran penegakan hukum dan keamanan dalam negeri, hingga peran di bidang sosial budaya yang memata-matai masyarakat dan mengintervensi sengketa buruh, petani, hingga karya seni.

Seberapa jauh dwifungsi militer tersebut kembali dalam realitas politik hari ini? Atau seberapa jauh materi UU TNI yang disahkan masih mengandung potensi kembalinya dwifungsi militer? Sebelum lebih jauh, artikel ini terlebih dahulu mengulas proses pembuatan UU TNI.

Ketiadaan akses publik atas naskah resmi

Polemik bermula ketika Presiden Prabowo Subianto mengirimkan surat presiden (surpres) pada 18 Februari 2025 kepada DPR RI tentang Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Polemik atas RUU ini berjalan tanpa ketersediaan naskah RUU yang bisa diakses publik, bahkan tak kunjung ada—termasuk di situs internet DPR RI—hingga disahkan sebulan kemudian.

Koalisi menilai RUU perubahan atas UU TNI ini merupakan kelanjutan dari usul inisiatif DPR pada 28 Mei tahun lalu. Berbekal naskah yang beredar saat itu, Koalisi mengkritik perluasan peran militer dalam revisi UU TNI, dari jabatan sipil pemerintah hingga wewenang penegakan hukum dan keamanan dalam negeri yang menjadi domain kepolisian. Selain melemahkan supremasi sipil, hal itu juga melemahkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, dan mengembalikan dwifungsi militer.

Polemik menguat setelah beberapa politisi, pejabat pemerintah, dan petinggi militer melontarkan wacana penempatan militer aktif di jabatan sipil (kekaryaan militer) hingga penghapusan larangan berbisnis dan berpolitik. Jika itu masuk revisi UU TNI, bagi Koalisi itu melanggar UU TNI dan mengkhianati reformasi karena mengembalikan dwifungsi militer.

Kritik ini memang keras, tapi bukan asal kritik. Selain merujuk naskah yang beredar di DPR tahun lalu, sebagian pengkritik berlatar ilmu pertahanan. Sebut saja Al Araf, lulusan Pertahanan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Cranfield University, atau Muhammad Haripin, lulusan Ritsumeikan University dengan disertasi doktoral soal operasi militer selain perang (OMSP). Ini belum termasuk Andi Widjajanto, lulusan National Defense University (NDU) Amerika Serikat, atau Agus Widjojo, intelektual militer yang konsisten sejak 1998.

Sayangnya, sejumlah politisi menyanggah kritik tanpa membuka naskah resmi. Bahkan ketika tampil dalam telewicara TV, beberapa dari mereka juga belum mendapatkan naskah resmi yang terbaru. Rapat dengar pendapat dengan segelintir peneliti pun tanpa ada rujukan naskah resmi. Perdebatan memanas seusai Kepala Kantor Presiden dan petinggi militer menuduh pengkritik sebagai ”penyebar hoaks” dan ”otak kampungan”.

Di luar pemerintahan, ada pula pernyataan mantan pejabat Mahkamah Konstitusi, yang idealnya mendasarkan diri pada kaidah konstitusi justru mendukung proses RUU TNI yang tergesa-gesa. Puncaknya, mahasiswa dan kaum muda, aktivis, dan media sosial lalu meramaikan polemik melalui beragam cara, termasuk menginterupsi rapat Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Minggu (16/3/2025).

Partisipasi tergesa-gesa

Tiga hari jelang pengesahan, ada pertemuan lebih luas antara Koalisi bersama perwakilan pimpinan Komisi I, Komisi III, Komisi XIII, didampingi pimpinan DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengeluh, kritik Koalisi tidak merujuk naskah resmi. Koalisi mengeluh balik mengapa naskah tidak diunggah di situs DPR, termasuk mengapa tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Perwakilan DPR lalu membagikan tiga lembar kertas sembari menegaskan perubahan terbatas tiga pasal: Pasal 3 soal kedudukan TNI, Pasal 47 soal jabatan sipil bagi anggota TNI aktif, dan Pasal 53 soal perpanjangan usia pensiun. Koalisi menanyakan pasal lain, yaitu Pasal 7 yang memperluas peran militer dalam penanganan ”narkotika” dan ”ancaman siber” atas nama operasi militer selain perang (OMSP). Artinya lebih dari tiga pasal.

Pertemuan kedua terjadi pada Selasa (18/3/2025) siang, yang meliputi perwakilan Koalisi lebih luas. Pembahasan terfokus pada pasal-pasal sebelumnya, ditambah pasal soal OMSP (Pasal 7), perluasan wewenang TNI AD dalam menjaga keamanan di wilayah darat (Pasal, kekaryaan militer di jabatan sipil (Pasal 47), dan yurisdiksi peradilan bagi anggota TNI yang melanggar hukum (Pasal 74). Pada akhir pertemuan, DPR menjamin RUU tetap berbasis supremasi sipil dan menolak kembalinya dwifungsi militer.

Namun, Koalisi perlu jaminan perbaikan naskah. Hingga pertemuan selesai, naskah resmi belum dirilis. Saat diminta, Komisi I beralasan naskahnya terus mengalami perubahan. Naskah dikirim baru Selasa (18/3/2025) malam dan Rabu (19/3/2025) siang. Berbekal kabar rencana pengesahan pada Kamis (20/3/2025) pukul 14.00 WIB, Koalisi bergerak cepat menelaah naskah. Namun, pengesahan terjadi lebih cepat, Kamis, pukul 10 pagi.

Jadi, sulit untuk mengatakan RUU menempuh proses ”partisipasi yang bermakna” sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan. Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 (hlm 393) mengartikan partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagai 1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Sekarang kita sampai pada pertanyaan yang menyangkut perubahan substansial UU TNI. Ada sejumlah masalah serius yang terkandung dalam perubahan pasal-pasal legislasi ini yang dapat melemahkan supremasi sipil dan membawa kembali dwifungsi militer.

Melemahnya kontrol sipil atas militer        

Dalam supremasi sipil, kedudukan militer berada di bawah kontrol Menteri Pertahanan (Menhan). Semasa Orde Baru, militer menyatu dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Posisi panglima militer menjabat Menhan dan langsung di bawah presiden berlatar belakang militer.

Reformasi mulai meletakkan militer di bawah kontrol sipil, tetapi belum ideal. Ini terlihat dari bertahannya kedudukan panglima militer langsung di bawah presiden (Pasal 3 Ayat 1 UU lama) dan setara Menhan.

Akan tetapi, supremasi sipil mulai tegak: militer dipisahkan dari Kemenhan, Menhan dijabat dari nonmiliter, dan militer didudukkan setidaknya ”di bawah koordinasi” Menhan (Pasal 3 Ayat 2 UU lama).

Jika supremasi sipil benar-benar tegak, kata ”koordinasi” perlu dihapus agar kedudukan militer ”di bawah” Kemenhan, tapi kini justru melemah kembali karena diubah menjadi ”di dalam koordinasi” (Pasal 3 baru).

Bertambahnya peran militer selain perang

Revisi UU TNI masih mengaburkan peran perang militer (combatant, operasi militer perang/OMP) dan peran selain perang (civilian, operasi militer selain perang/OMSP). Semula Pasal 7 menambahkan ”penanggulangan narkotika” dan ”ancaman siber” ke dalam daftar OMSP. Ini jelas tumpang tindih dengan sistem penegakan hukum.

”Narkotika” adalah tindak pidana yang penanganannya ada di kepolisian. ”Ancaman siber” juga sama, kecuali jika maksudnya adalah ”pertahanan siber”. DPR akhirnya menerima usul ini dan menghapus penanganan ”narkotika” dan menambahkan diksi ”pertahanan siber” dalam OMSP.

Problemnya ada pada penjelasan yang ternyata masih bersifat karet. Ini belum soal ”ancaman lain yang ditetapkan oleh presiden” yang bersifat karet (Pasal 7 1 a Angka.

Problem lain dari pasal ini adalah melemahnya kontrol legislatif atas militer ketika pelaksanaan OMSP berlangsung untuk peran-peran selain perang yang masih bersifat combatant. Contoh, OMSP untuk mengatasi ”gerakan separatis bersenjata”, ”pemberontakan bersenjata”, dan ”aksi terorisme” kini cukup dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden (Pasal 7 Ayat 4), padahal sebelumnya tetap harus dengan keputusan dan kebijakan politik negara.

Tumpang tindih peran militer dan polisi

Revisi UU TNI idealnya lebih memperjelas perbedaan peran militer dan kepolisian. Peran TNI sebagai ”kekuatan pertahanan negara” dan ”Polri” sebagai ”kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat” jangan sampai kembali rancu dan tumpang tindih (Konsiderans c Tap VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, UU No 34/2004 tentang TNI).

DPR tepat menerima usul Koalisi agar mengganti kata ”keamanan” menjadi ”pertahanan” demi mencegah tumpang tindih militer dan kepolisian (Pasal 8 Ayat 1 Huruf b). Namun, pembahasan tidak tuntas dan tak lagi sempat memeriksa frasa berikut pasal itu yang memperluas cakupan wilayah penjagaan militer dari UU lama yang berbunyi ”menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain” (Pasal 8 Ayat 1 Huruf b UU lama) menjadi ”pertahanan di darat termasuk di perbatasan dengan negara lain” (Pasal 8 Ayat 1 Revisi UU TNI).

Ini belum termasuk penjelasan mengenai ”segala bentuk ancaman dan/atau gangguan dari dan/atau di wilayah darat” (Pasal 8 1 Huruf b Revisi UU TNI). Implikasinya, cakupan wilayah yang dijaga militer jadi meluas dan mengaburkan batas peran militer dan polisi terkait wilayah hukum dan keamanan dalam negeri.

Bertambahnya fungsi kekaryaan militer di jabatan sipil

Reformasi 1998 menghapuskan fungsi kekaryaan militer di jabatan sipil. Kekaryaan militer di jabatan sipil wajib didahului pengunduran diri atau pensiun dini (Pasal 5 Ayat 5 Tap VII/MPR/2000). Tak ada kecuali. Namun, dinamika politik pasca-pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (yang pro-supremasi sipil) memungkinkan kompromi reformasi militer.

Meski masih mewajibkan ”pengunduran diri” atau ”pensiun dini” bagi kekaryaan militer (Pasal 47 Ayat 1), UU TNI lama yang mereka buat bersama wakil militer di parlemen itu membuka celah kembalinya fungsi kekaryaan militer itu pada sepuluh jabatan sipil (Pasal 47 Ayat 2).

Sepuluh jabatan sipil itu ialah kantor yang membidangi ”Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung” (Pasal 47 Ayat 2 UU TNI lama).

DPR tepat mengakomodasi usul Koalisi dengan menghapus jabatan sipil di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara jabatan lainnya alot. Jika DPR konsisten kembali pada supremasi sipil, maka sepuluh jabatan itu idealnya dihapuskan atau berkurang.

Namun, revisi kekaryaan militer bertambah di enam jabatan sipil: kesekretariatan presiden, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia (Pasal 47 Ayat 2). Jabatan terakhir ini melanjutkan kekeliruan Presiden Jokowi mengangkat militer aktif sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Militer pada 11 Februari 2021.

Proyeksi ke depan

Dengan uraian di atas, dapat disimpulkan masih adanya pasal yang melemahkan supremasi sipil dan mengembalikan dwifungsi. Kita jadi mengerti mengapa publik, Koalisi, dan mahasiswa turun ke jalan, termasuk menempuh uji konstitusi undang-undang ini di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu adalah pengejawantahan idealisme mereka akan tentara profesional dalam perspektif supremasi sipil.

Uraian ini sebatas tinjauan normatif atas perubahan legislasi militer. Kita perlu menakar praktik di lapangan terlepas revisi undang-undang ini. Sebut saja pembuatan nota kesepahaman (MoU) militer dan berbagai kementerian non-pertahanan, pengerahan militer ke Papua tanpa kebijakan politik negara, ketiadaan penghukuman atas pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, hingga penempatan anggota militer di jabatan sipil yang menyalahi undang-undang.

Semoga supremasi sipil masih bisa ditegakkan di tengah kondisi Indonesia yang kini dinilai oleh dunia semakin kurang demokratis dan menuju otokrasi elektoral (Indeks Demokrasi V-Dem, 2025).

(*) Usman Hamid, Director Amnesty International Indonesia; Pengurus LHKP PP Muhammadiyah; Dewan Pakar Peradi, sumber tulisn dikutip dari Kompas.id, edisi 24 Mar 2025