Oleh: Nikodemus Kambu (*)

Di jantung pedalaman Papua Barat Daya, hiduplah Suku Maybrat, atau yang dulunya dikenal sebagai masyarakat Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat (A3) serta Mare. Mereka adalah penjaga budaya, nilai, dan sistem sosial yang kokoh, diwariskan dari generasi ke generasi.

Dulu, hidup mereka selaras dengan alam, bertani subsisten, berburu, dan meramu. Kearifan lokal mereka dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan adalah harta tak ternilai. Namun, seperti gelombang yang tak terhindarkan, ekonomi modern mulai menyentuh wilayah mereka beberapa dekade terakhir.

Ekonomi modern seakan membawa janji-janji baru, namun juga serangkaian tantangan yang menguji kekuatan adaptasi masyarakat Maybrat. Bagaimana suku yang terbiasa dengan sistem kekeluargaan dan marga yang kuat ini dapat berlayar di tengah arus produksi, distribusi, dan konsumsi pasar yang begitu berbeda?

Jerat Tantangan: Mengapa Orang Maybrat Sulit Berbisnis Modern?

Transisi dari ekonomi subsisten ke bisnis modern bukanlah perjalanan mudah. Ada beberapa kendala yang membelit langkah masyarakat Maybrat:

Belenggu Struktural: Marginalisasi di Tanah Sendiri. Penerapan sistem ekonomi-politik bercorak kapitalisme industri ekstraktif oleh pemerintah Indonesia, dengan eksploitasi sumber daya alam dan dominasi ruang bisnis oleh kaum migran, telah menciptakan jurang ketimpangan yang lebar.

Masyarakat adat Papua, termasuk Maybrat, sering kali terpinggirkan dari arena ekonomi modern di kota-kota besar. Mereka menjadi penonton di ruang-ruang yang seharusnya juga menjadi milik mereka.

Minimnya Akses Pendidikan dan Informasi. Salah satu ganjalan utama adalah rendahnya tingkat pendidikan formal. Pengetahuan tentang kewirausahaan, manajemen keuangan, hingga literasi digital masih sangat terbatas. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk mengikuti tren pasar, memanfaatkan teknologi, dan memahami seluk-beluk regulasi bisnis yang kompleks.

Infrastruktur yang Belum Memadai.  Keterbatasan jalan, listrik, dan akses internet menjadi hambatan nyata. Tanpa infrastruktur pendukung yang memadai, sulit bagi mereka untuk menghubungkan produk mereka ke pasar yang lebih luas atau bahkan menjalankan bisnis yang membutuhkan konektivitas.

Ketergantungan pada Alam yang Rapuh. Mayoritas usaha masyarakat Maybrat masih bergantung pada sumber daya alam, seperti pertanian dan hasil hutan. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim, bencana alam, atau kebijakan pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam. Satu kali panen gagal bisa berarti kehilangan mata pencarian.

Keterampilan Manajerial yang Minim. Banyak yang piawai dalam bisnis tradisional, tetapi minim keterampilan manajerial yang krusial untuk usaha modern. Perencanaan bisnis, pengelolaan keuangan, dan pengorganisasian tim menjadi tembok penghalang bagi perkembangan usaha yang lebih kompleks.

Goresan Adat di Era Modern. Sistem adat Maybrat yang kuat seringkali berbenturan dengan adopsi teknologi baru atau sistem ekonomi pasar. Ada resistensi terhadap perubahan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai luhur. Misalnya, kebiasaan memberi hasil produk kepada sanak saudara yang berkunjung, meskipun merupakan bagian dari budaya, bisa menjadi tantangan dalam model bisnis yang berorientasi keuntungan.

Sulitnya Menggenggam Modal. Modal adalah jantung bisnis, namun akses masyarakat Maybrat ke lembaga keuangan formal sangat terbatas. Mereka seringkali tidak memiliki jaminan atau rekam jejak bisnis yang diakui, membuat pintu permodalan tertutup rapat.

Pasar yang Kecil dan Persaingan Ketat. Karena lokasi yang terpencil, masyarakat Maybrat kesulitan memperluas jaringan pasar. Produk mereka seringkali hanya dikenal di pasar lokal, belum mampu bersaing di kancah yang lebih luas.

Daya Tarik Kota dan Kesenjangan Generasi. Perkembangan ekonomi modern juga membawa fenomena migrasi. Banyak anak muda Maybrat yang memilih meninggalkan desa demi mencari pekerjaan di kota besar. Ini mengurangi tenaga kerja produktif di kampung halaman dan menciptakan kesenjangan antara generasi tua yang masih mengandalkan cara tradisional dengan generasi muda yang lebih terbuka terhadap peluang di luar daerah.

Merajut Harapan: Solusi untuk Ekonomi Maybrat yang Berkelanjutan

Meskipun tantangan ini berat, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Kolaborasi semua pihakpemerintah, masyarakat setempat, dan sektor swasta adalah kunci. Berikut adalah beberapa rekomendasi untuk membangun ekonomi modern yang berpihak pada masyarakat Maybrat :

Tingkatkan Akses dan Mutu Pendidikan. Pemerintah perlu memperbanyak sekolah dan pusat pelatihan keterampilan di Maybrat, khususnya di bidang kewirausahaan dan keuangan. Pelatihan praktis dalam manajemen usaha kecil, pemasaran digital, dan koperasi harus digalakkan. Kurikulum berbasis kearifan lokal juga penting agar pendidikan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Berdayakan Generasi Muda. Dorong anak-anak muda Maybrat yang telah mengenyam pendidikan tinggi untuk kembali membangun usaha di kampung halaman. Berikan mereka akses permodalan, inkubasi bisnis, atau beasiswa wirausaha sosial untuk memantik semangat kewirausahaan.

Perkuat Infrastruktur Dasar. Pemerintah daerah harus fokus pada pengembangan jalan, listrik, dan akses internet. Mendorong kerja sama dengan LSM atau pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur digital dan pasar akan membuka peluang ekonomi baru.

Bentuk Koperasi dan Unit Usaha Masyarakat. Organisir masyarakat ke dalam koperasi untuk menjalankan usaha kolektif, seperti pertanian, peternakan, dan hasil hutan bukan kayu. Koperasi ini bisa menjadi jembatan untuk distribusi, pembiayaan, dan pelatihan bisnis.

Pelatihan Digital dan Pemasaran Online. Latih masyarakat, terutama generasi muda, dalam penggunaan media sosial, marketplace lokal, dan digital banking. Dorong pemasaran produk lokal seperti kopi, kerajinan tangan, atau hasil pertanian melalui platform digital seperti Tokopedia, Shopee, atau Instagram.

Lindungi dan Promosikan Produk Lokal. Sertifikasi produk lokal sebagai kekayaan intelektual (misalnya tenun, ukiran, atau makanan khas Ayamaru) akan meningkatkan nilai jual. Keikutsertaan dalam pameran UMKM atau festival budaya tingkat provinsi/nasional juga dapat memperkenalkan produk Ayamaru ke pasar yang lebih luas.

 Jalin Kemitraan dengan Dunia Usaha dan LSM. Gandeng perusahaan atau NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi untuk melakukan pendampingan usaha. Kemitraan ini dapat membuka akses modal, pelatihan, dan pasar bagi usaha masyarakat.

Adaptasi Budaya dan Ekonomi. Penting bagi masyarakat Maybrat untuk memahami bahwa pengembangan ekonomi tidak harus mengorbankan nilai-nilai budaya lokal. Justru, kearifan lokal bisa menjadi fondasi untuk menciptakan produk dan model bisnis yang unik dan berkelanjutan.

Membangun bisnis ekonomi modern bagi masyarakat Maybrat adalah perjalanan panjang yang membutuhkan sinergi dari semua pihak. Dengan pendekatan yang holistik, berbasis pada kearifan lokal, dan komitmen yang kuat, tantangan-tantangan ini bukanlah tembok yang tidak dapat diatasi.

Mimpi untuk merajut ekonomi modern yang kuat dan berkelanjutan di Tanah Leluhur Maybrat, dengan tetap menghormati warisan budaya mereka, bisa menjadi kenyataan.

(*) Penulis adalah pensiunan Guru SMA yang tinggal di Amban Manokwari, Papua Barat.