Oleh : Nikodemus Kambu*
BAYANGKAN sebuah tempat di mana burung surga (cenderawasih) menari bebas di antara pepohonan raksasa yang menjulang. Sungai-sungai mengalir jernih tanpa polusi, dan manusia hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni yang diwariskan turun-temurun.
Tempat ini bukan mitos atau legenda masa silam. Tempat ini nyata ada Papua, surga terakhir yang masih tersisa di bumi.
Dijuluki sebagai the last frontier, Papua adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati dan budaya di Indonesia, bahkan dunia. Wilayah ini menyimpan lebih dari separuh kekayaan hayati Indonesia.
Terdapat lebih dari 20.000 spesies tumbuhan, 717 jenis burung (209 di antaranya endemik), serta ekosistem hutan hujan tropis seluas 33,12 juta hektare, menjadikannya kawasan hutan hujan tropis terbesar di Asia Pasifik.
Di antara burung-burung itu terdapat nama-nama megah: cenderawasih, mabruk, kasuari, kakaktua raja, nuri, kasturi, bondol Arfak, perkici, hingga pitohui, satu-satunya burung beracun di dunia.
Tak hanya alamnya, Papua juga menjadi rumah bagi lebih dari 314 kelompok etnis dan 428 bahasa lokal, menjadikannya sebagai kawasan dengan kepadatan keragaman budaya dan bahasa tertinggi di dunia.
Dalam kehidupan masyarakat adat Papua, alam bukan hanya sumber daya, tetapi bagian dari tubuh dan jiwa manusia. Tanah adalah ibu. Hutan adalah rumah bagi roh-roh leluhur. Sungai adalah darah kehidupan. Semua dihormati dan dijaga.
Dalam pandangan dunia masyarakat adat Papua, hubungan antara manusia dan alam bukanlah relasi eksploitatif, melainkan relasi kosmologis. Tanah bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan, tetapi entitas hidup yang suci.
Inilah landasan dari prinsip hidup “tanah sebagai mama” bahwa setiap perampasan tanah adalah bentuk kekerasan spiritual terhadap masyarakat adat.
Mitos dan ritual masyarakat Papua mengajarkan bahwa setiap pohon, gunung, batu, dan mata air memiliki penunggu dan penghuni yang harus dihormati. Karena itu pembangunan dalam bentuk apapun, harus dilakukan dengan pertimbangan spiritual dan social. Bukan sekadar logika ekonomi.
Ancaman Kolonialisme Ekologis dan Kapitalisme Ekstraktif
Sayangnya, Eden ini kini dikepung oleh logika pasar dan negara. Dalam beberapa dekade terakhir, Papua telah berubah menjadi ladang perampokan sumber daya oleh korporasi tambang, perkebunan kelapa sawit, proyek jalan transnasional, hingga eksplorasi gas dan minyak.
Proyek-proyek seperti; Proyek Strategis Masional (PSN) di Merauke, Blok Wabu di Intan Jaya, Tangguh LNG di Teluk Bintuni, hingga rencana Food Estate di sejumlah wilayah adat, justru menjadi ancaman sistematis terhadap ekosistem dan masyarakat adat.
Hutan digunduli tanpa persetujuan. Sungai tercemar limbah logam berat seperti merkuri dan sianida. Perempuan adat kehilangan sumber air dan pangan. Burung-burung kehilangan habitatnya.
Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI, 2023), dalam dua dekade terakhir, Papua telah kehilangan lebih dari 1,4 juta hektare tutupan hutan alam, mayoritas karena perluasan izin perusahaan.
Sementara itu, studi dari The Gecko Project dan Mongabay menunjukkan bahwa banyak izin dikeluarkan tanpa persetujuan bebas (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat, melanggar prinsip hak asasi. Lebih parah lagi, kekayaan alam Papua menjadi kutukan bagi penduduk aslinya.
Seperti yang dikatakan Frantz Fanon, dalam situasi kolonial, tanah menjadi “senjata” yang diperebutkan dengan darah. Anak-anak Papua masih harus berjalan berjam-jam menuju sekolah yang rusak. Pelayanan kesehatan tak memadai. Harga barang melambung tinggi.
Di tengah tanah yang kaya, rakyat hidup miskin. Inilah wajah nyata kolonialisme ekologis ketika sumber daya alam dikuasai dan dieksploitasi untuk kepentingan negara dan korporasi, sementara rakyat yang seharusnya menjadi pemilik utama justru dipinggirkan.
Dalam kajian ekologi politik (political ecology), Papua menjadi contoh klasik bagaimana relasi kuasa antara negara, pasar, dan masyarakat adat saling bertabrakan. Pembangunan di Papua tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonialisme internal yaitu situasi ketika suatu wilayah ditundukkan dan dikendalikan secara politik, ekonomi, dan budaya oleh pusat kekuasaan negara.
Proyek-proyek pembangunan sering kali menggunakan dalih “kesejahteraan” namun mengabaikan struktur ketimpangan. Mereka yang datang dengan jubah investasi justru menjadi aktor-aktor utama perampasan tanah (land grabbing) dan marginalisasi masyarakat adat.
Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi di Tanah Papua bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial, politik dan sejarah.
Harapan Bangkitnya Penjaga Eden
Namun harapan belum mati. Di tengah ancaman, banyak anak muda Papua bangkit sebagai penjaga warisan leluhur. Mereka hadir dalam gerakan akar rumput: dari kampus, gereja, komunitas adat, hingga organisasi seni budaya untuk membangun kekuatan baru.
Mereka menulis, melukis, bernyanyi, meneliti, mendokumentasikan, dan menyuarakan: bahwa Papua bukan tanah kosong!
Lembaga-lembaga seperti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Perkumpulan Belantara Papua, Yayasan Lingkungan Hidup Papua, Walhi, dan lain-lain, hingga inisiatif komunitas seperti Petarung Maybrat, menjadi motor penting gerakan pelestarian dan edukasi berbasis budaya.
Mereka mendorong partisipasi masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan, mengadvokasi hak atas tanah, dan menciptakan model ekonomi lokal berbasis kearifan lokal.
Bahkan di tingkat internasional, gerakan untuk menyuarakan penyelamatan Papua telah mendapatkan simpati. Dukungan datang dari lembaga-lembaga HAM, lingkungan, dan universitas di berbagai belahan dunia.
Papua adalah surga yang turun ke bumi. Namun surga itu bisa hilang bukan karena kiamat, tapi karena keserakahan manusia dan sistem yang tak adil. Kita semua punya tanggung jawab moral, ekologis, dan historis untuk menjaga Papua: bukan hanya sebagai harta kekayaan bangsa, tapi sebagai simbol harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.
Papua bukan tanah kosong. Ia hidup. Ia suci. Ia berharga. Jadi kita tidak boleh membiarkannya musnah. Sebab menyelamatkan Papua, adalah menyelamatkan nurani kita sebagai manusia.
(*) Penulis adalah pensiunan guru SMA yang tinggal di Amban, Manokwari, Papua Barat dan ketua Yayasan Wion Susai Papua.