Sorong, Petarung.org- Pendamping Pedagang Pasar Mama-Mama Papua Kota Sorong (P2MP-KS) Robertus Nauw mengatakan, masyarakat di Papua ke depan bisa dikatakan menjadi marginal karena daerah mereka hari ini di garis depan pertemuan kekuatan-kekuatan kapital global dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Orang asli Papua dari 100 persen di Kota Sorong, OAP hanya 27,48 persen dan beberapa lapangan kerja dasar dan ruang hidup orang Papua sudah hilang, seperti pemecah batu, buruh somil, pekerja buruh pelabuhan, penjual pangan lokal, parkiran, security dan petugas kebersihan semua diambil alih oleh kaum migran, belum lagi kehilangan wakil di parlemen.

“Persaingan memperebutkan akses ekonomi politik menjadi takterhindarkan dan kekalahan orang lokal Papua dengan para migran dalam merebut akses ekonomi sering disebut sebagai salah satu pemantik marginalisasi orang lokal Papua di tanahnya sendiri, dan OAP kelak hanya jadi penonton” ujar Robertus dalam sebuah diskusi Torang Bicara, bersama RRI Sorong podcast, Rabu (4/6/2025).

Ia menambahkan, ruang-ruang ekonomi seperti pasar, birokrasi dan tentu saja masuknya perusahaan multinasional KEK, Tambang menjadi ladang subur terciptanya persaingan dan salah satu potret nyata adalah perjuangan mama-mama Papua mendapatkan akses tempat jualan yang layak di pasar Remu, eks Pasar Boswesen, penataan pasar yang baik untuk akomodri orang Papua, kurang mendapatkan akses modal usaha dan kurang mendapatkan akses pembinaan pedagang, minim akses transportasi dan mendapatkan akses pasar khusus adalah perjuangan panjang mama-mama Papua dalam hal mengangkat harkat, martabat dan keberpihakan orang Papua dalam hal ini mama-mama Papua yang berjualan di tanah hanya beralas karung.

Pasar sentral Remu, mama-mama Papua menggelar dagangan berjejer di tanah, sementara los-los yang menyediakan kios-kios, lapak-lapak dikhususkan untuk para pedagang yang memiliki modal besar untuk membayar sewa.

“1.299 Los di pasar remu semua diisi oleh kaum migran, sementara 1.527 pedagang asli papua merana jualan beralas karung di tanah di depan-depan los milik kaum migran, mereka jual dengan catatan bayar tempat jualan per bulan 1-2 juta rupiah dengn cara patungan oleh setiap pedagang. dan hanya sebagian kecil yang jualan di meja yang layak” ujar Robertus.

Sementara itu, kordinator pedagang mama mama Papua sektor KM 13 Kota Sorong yang berjualan di pasar sentral remu tepatnya di lokasi koramil, Pasar Sentral Remu. Bahkan mama-mama Papua pedagang tidak tetap di Pasar Sentral Remu yang datang dari distrik-distrik di wilayah Sorong Raya yang berjualan di pinggir jalan.

“Pasar menjadi medium penting perjuangan mama-mama Papua untuk menunjukkan eksistensi mereka, dalam bentuk perjuangan hak untuk berdagang, di tengah ruang pasar yang dipenuhi oleh kuasa kapital dalam bentuk penyewaan kios-kios, los-los, dan depan toko yang sebagian besar dikuasai oleh para migran,” ujar mama Kezia Asrima, perempuan Moi Klabra yang domisili di Kota Sorong yang berjualan di Pasar Remu.

Ia menambahkan, agar pemerintah perlu menata kembali Pasar Sentral Remu Sorong,

Dan memberi ruang kepada mama-mama asli Papua untuk dapat tempat yang layak, dan beri bantuan modal dan bantuan modal koperasi yang dikelola secara mandiri oleh mama-mama Papua.

“tolong pemerintah, perhatikan nasip mama-mama papua karena mereka jualan di bawa tanah, dan kita harus pertanyakan Otsus ini dating untuk siapa?, masyarakat hari ini hidup susah ujarnya,” tutur mama Asrima. (CR1)