Oleh: Arkilaus Baho *

FANATISME SIMBOLIS di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sentimen anti-Israel, telah menjadi isu kompleks yang mempengaruhi hubungan antar umat beragama dan stabilitas sosial.

Meskipun Israel tidak pernah menjajah Indonesia secara langsung, kebencian terhadap negara tersebut telah tumbuh di kalangan sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berlatar belakang agama Islam.

Fenomena ini semakin intensif sejak era Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Khamenei, diikuti oleh dukungan Iran terhadap milisi di Palestina yang melawan Israel.

Propaganda dari Iran melalui proksinya di seluruh dunia telah memperluas kebencian ini, yang pada akhirnya mengubah toleransi antar umat beragama di Indonesia menjadi intoleransi yang lebih mendalam.

Salah satu dampak utama adalah peningkatan aksi kekerasan, seperti bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok garis keras terhadap sasaran yang mereka anggap sebagai “kafir”, seperti gereja dan tempat ibadah lainnya.

Hal ini mencerminkan bagaimana kebencian yang dipropagandakan dapat memicu tindakan intoleran. Pemerintah Indonesia, sebagai respons, hingga kini menolak kerjasama dengan Israel dan menerapkan kebijakan ketat untuk pembangunan rumah ibadah.

Kebijakan ini mengharuskan adanya persetujuan dari masyarakat sekitar dan rekomendasi yang memenuhi syarat, meskipun dalam praktiknya, hal ini sering kali memperburuk ketegangan.

Kasus-kasus lain memperlihatkan bagaimana fanatisme simbol ini merembet ke berbagai aspek kehidupan. Misalnya, pada era Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah memfasilitasi kedatangan tokoh seperti Dr. Zakir Naik ke Indonesia, yang secara sepihak menyebarkan kebencian terhadap ajaran Kristen dalam Alkitab.

Selain itu, kunjungan tim nasional Israel untuk ajang Piala Dunia ditolak oleh sejumlah elit politik, sehingga gagal terlaksana. Propaganda anti-Israel juga meluas melalui boikot produk dan afiliasi bisnis yang berkaitan dengan Israel, serta imbauan dari lembaga resmi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bendera Israel, Merince Kogoya dan Ajang Miss Indonesia

Fenomena terbaru yang menyoroti fanatisme simbol adalah kasus Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 asal Papua Pegunungan, yang dipulangkan dari kompetisi.

Fakta utama dari kasus ini diantaranya. Pertama, Merince Kogoya, alumni SMAN 3 Jayapura dan mahasiswa Universitas Cenderawasih, memiliki akun Instagram @kogoya_merry dengan lebih dari 5.000 pengikut.

Ia dikenal aktif dalam kompetisi sains nasional tingkat provinsi (2021), olahraga basket, serta kegiatan sosial dan edukatif.  Kedua, penyebab pemulihannya adalah foto viral yang menunjukkan dirinya memegang bendera Israel, yang memicu reaksi negatif dari pendukung Palestina.

Ketiga, posisinya digantikan oleh Karmen Anastasya dalam hitungan menit, sebagai respons terhadap komentar publik yang pro-Palestina.

Kontroversi ini menimbulkan kritik dari aktivis seperti Maiton Gurik, seorang pegiat anti-diskriminasi Papua, yang menyebut pemulangan Merince sebagai bentuk diskriminasi.

Gurik menyoroti bahwa hal ini tidak hanya merugikan orang Papua yang berprestasi, tetapi juga mengungkap inkonsistensi antara kampanye toleransi pemerintah dan praktik di lapangan.

Implikasi sosialnya mencakup peningkatan sensitivitas isu Israel-Palestina di Indonesia, diskusi tentang diskriminasi terhadap orang Papua, dan ketegangan antara prestasi individu dengan isu politik-sosial yang lebih luas.

Secara strategis, poin-poin utama fanatisme simbol ini menunjukkan bagaimana propaganda kebencian dari luar negeri, seperti Iran, dapat memperburuk radikalisme di Indonesia.

Untuk membandingkan dengan negara lain, di Malaysia dan Turki yang juga memiliki populasi Muslim mayoritas. Dampak serupa terlihat melalui peningkatan polarisasi sosial dan aksi boikot, tetapi perbedaannya adalah bahwa Malaysia telah mengalami lebih banyak demonstrasi massal yang mengganggu stabilitas ekonomi.

Sementara Turki telah melihat pengaruh ini memperkuat posisi pemerintah dalam isu luar negeri. Di Indonesia, dampak yang ditimbulkan lebih fokus pada erosi toleransi lokal dan kebijakan domestik, seperti pembatasan rumah ibadah, yang dapat mengarah pada konflik internal berkepanjangan.

Di Eropa, seperti Prancis, propaganda serupa telah menyebabkan peningkatan insiden kebencian online dan kekerasan, tetapi solusi di sana melibatkan undang-undang anti-radikalisme yang lebih ketat.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara strategis dampak dari propaganda kebencian tersebut terhadap stabilitas sosial dan toleransi antarumat beragama di Indonesia, serta membandingkannya dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Turki, dan Prancis.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, artikel ini mengevaluasi dinamika sosial-politik yang dipicu oleh propaganda Iran, serta menawarkan solusi berbasis kebijakan publik, pendidikan kritis, dan diplomasi strategis.

Temuan menunjukkan bahwa propaganda anti-Israel di Indonesia telah memperkuat intoleransi domestik, memperbesar polarisasi sosial, dan menghambat pembangunan pluralisme.

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menunjukkan kecenderungan lebih tinggi terhadap internalisasi simbolik kebencian, yang berdampak langsung pada kebijakan domestik dan relasi sosial.

Artikel ini menawarkan strategi multi-level untuk mengatasi pengaruh tersebut secara berkelanjutan. Pertama, menganalisis strategi propaganda kebencian anti-Israel oleh Iran di Indonesia.

Kedua, membandingkan dampaknya dengan negara mayoritas Muslim lainnya seperti Malaysia dan Turki, serta negara sekuler seperti Prancis. Ketiga, menawarkan solusi strategis untuk mengatasi dampak negatif dari propaganda tersebut.

Keempat, tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus dan perbandingan lintas negara kurun waktu tahun 2015–2025. Kelima, studi literatur dari jurnal akademik, laporan think tank, dan dokumen kebijakan publik.

Keenam, analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka teori propaganda (Ellul, 1965), teori politik identitas (Mouffe, 2005), dan pendekatan komunikasi strategis (Nye, 2004). Validitas data diperkuat melalui triangulasi sumber dan analisis tematik.

Strategi Propaganda Iran dan Fanatisme Simbol di Indonesia

Propaganda kebencian terhadap Israel yang dipelopori oleh Republik Islam Iran telah menjadi instrumen politik transnasional yang mempengaruhi opini publik di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik langsung dengan Israel, narasi anti-Israel telah berkembang secara signifikan melalui saluran ideologis dan media sosial, terutama di kalangan masyarakat Muslim.

Dalam dekade terakhir, pengaruh politik luar negeri Iran telah melampaui batas-batas geografisnya dan menjangkau negara-negara dengan populasi Muslim mayoritas, termasuk Indonesia.

Salah satu instrumen utama yang digunakan adalah propaganda anti-Israel yang dikemas dalam narasi keagamaan dan perjuangan kemanusiaan. Meskipun secara historis Indonesia tidak memiliki konflik langsung dengan Israel, sentimen anti-Israel telah berkembang kuat.

Ini terutama melalui media sosial, ceramah keagamaan, dan dukungan terhadap kelompok-kelompok militan seperti Hamas dan Hizbullah yang didukung Iran (Byman, 2020). Fenomena ini tidak hanya berdampak pada opini publik, tetapi juga pada kebijakan domestik, hubungan antarumat beragama, dan stabilitas sosial.

Contoh nyata adalah pemulangan Merince Kogoya dari ajang Miss Indonesia 2025 setelah fotonya dengan bendera Israel viral, yang menunjukkan bagaimana simbol-simbol tertentu dapat memicu reaksi emosional dan eksklusi sosial.

Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis bagaimana propaganda kebencian yang bersumber dari luar negeri dapat mengakar dalam masyarakat Indonesia dan membentuk dinamika sosial-politik domestik.

Arsitektur Propaganda Iran

Iran memanfaatkan jaringan media seperti Press TV, Al-Manar, dan afiliasi lokal untuk menyebarkan narasi anti-Israel. Di Indonesia, propaganda ini diperkuat oleh kelompok-kelompok Islamis yang memiliki afiliasi ideologis dengan Iran atau kelompok perlawanan Palestina.

Narasi yang digunakan mencakup: Pertama, denominasi Israel sebagai “musuh Islam”. Kedua, glorifikasi kelompok militan seperti Hamas dan Hizbullah. Ketiga, penggunaan simbol-simbol keagamaan untuk membenarkan kekerasan.

Menurut laporan Middle East Media Research Institute (MEMRI, 2022), Iran secara aktif mendanai kegiatan budaya dan keagamaan di Asia Tenggara untuk menyebarkan ideologinya.

Fanatisme Simbol dan Polarisasi Sosial

Kasus Merince Kogoya menjadi contoh nyata bagaimana simbol seperti bendera Israel dapat memicu eksklusi sosial. Ini menunjukkan bahwa propaganda tidak hanya mempengaruhi opini, tetapi juga membentuk perilaku kolektif. Fanatisme simbol ini juga terlihat dalam: Penolakan terhadap tim nasional Israel dalam ajang olahraga. Boikot produk yang dianggap pro-Israel. Penolakan pembangunan rumah ibadah non-Muslim di beberapa daerah.

Menurut survei LSI (2022), 62% responden Muslim di Indonesia menyatakan bahwa mereka mendukung boikot terhadap produk yang berafiliasi dengan Israel, meskipun tidak mengetahui latar belakang produk tersebut.

Perbandingan Internasional: Dampak Propaganda Iran terhadap Israel dan Respons di Malaysia, Turki, serta Prancis

Propaganda Iran terhadap Israel telah menjadi salah satu isu krusial yang mempengaruhi stabilitas sosial di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara mayoritas Muslim lainnya.

Narasi anti-Israel yang disebarkan melalui berbagai saluran seringkali memicu fanatisme simbol, di mana simbol-simbol keagamaan atau nasional digunakan untuk membangun identitas kolektif yang penuh intoleransi.

Di Indonesia, misalnya, propaganda ini telah memperburuk polarisasi sosial dan politik identitas, di mana kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan isu ini untuk memperkuat basis pendukung mereka.

Hal ini memerlukan strategi kontra-propaganda yang kuat, termasuk diplomasi publik, deradikalisasi, dan promosi toleransi beragama untuk mencegah eskalasi konflik domestik.

Dalam konteks perbandingan internasional, kita dapat melihat bagaimana Malaysia, Turki, dan Prancis merespons propaganda Iran ini dengan cara yang berbeda, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kebijakan luar negeri, kondisi domestik, dan upaya mitigasi intoleransi.

Perbandingan ini menyoroti bagaimana propaganda anti-Israel tidak hanya menyebarkan kebencian, tetapi juga mempengaruhi dinamika sosial dan politik di setiap negara.

Malaysia: Dukungan Vokal dan Dampak Sosial yang Terbatas

Malaysia memiliki kebijakan luar negeri yang lebih vokal terhadap Israel dan secara aktif mendukung Palestina. Namun, dampaknya lebih terlihat dalam bentuk demonstrasi massal dan tekanan terhadap kebijakan ekonomi.

Menurut laporan ISEAS (2021), polarisasi di Malaysia meningkat selama konflik Gaza 2021, tetapi tidak sampai mengubah kebijakan domestik secara signifikan.

Malaysia dikenal karena kebijakan luar negeri yang vokal terhadap Israel, di mana pemerintah secara aktif mendukung Palestina melalui deklarasi publik dan partisipasi dalam forum internasional.

Propaganda Iran memperkuat narasi anti-Israel di negara ini, yang sering kali dimanfaatkan untuk membangun fanatisme simbol di kalangan masyarakat. Misalnya, demonstrasi massal yang dipicu oleh konflik Gaza telah meningkatkan intoleransi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap pro-Israel, menciptakan polarisasi sosial yang lebih dalam.

Namun, dampaknya tidak sepenuhnya mengubah kebijakan domestik Malaysia. Meskipun ada peningkatan tekanan ekonomi dan sosial, pemerintah Malaysia cenderung membatasi eskalasi melalui pendekatan diplomasi publik, seperti promosi toleransi beragama dan dialog antar-kelompok.

Strategi kontra-propaganda di sini difokuskan pada deradikalisasi melalui pendidikan dan regulasi media, sehingga tidak menimbulkan intoleransi yang meluas secara permanen.

Turki: Alat Politik dan Keseimbangan Diplomatik

Turki, di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan, menggunakan isu Palestina sebagai alat politik domestik dan diplomasi internasional. Namun, Turki tetap mempertahankan hubungan dagang dengan Israel.

Propaganda anti-Israel digunakan untuk memperkuat basis politik domestik, tetapi tidak menyebabkan intoleransi sosial yang meluas (Yavuz, 2020).

Di Turki, di bawah kepemimpinan yang kuat, propaganda Iran terhadap Israel sering digunakan sebagai alat politik domestik untuk memperkuat basis pemilih. Narasi anti-Israel ini dikaitkan dengan fanatisme simbol, di mana simbol-simbol agama seperti bendera Palestina digunakan untuk membangun identitas nasional yang anti-Barat.

Pemerintah Turki memanfaatkan isu ini dalam diplomasi internasional, tetapi tetap mempertahankan hubungan dagang dengan Israel untuk menjaga stabilitas ekonomi. Meskipun propaganda ini membantu memperkuat politik identitas di dalam negeri, dampaknya tidak menyebabkan intoleransi sosial yang meluas.

Sebaliknya, Turki menerapkan strategi kontra-propaganda melalui diplomasi publik, seperti kampanye media yang mempromosikan toleransi beragama dan deradikalisasi online.

Hal ini menunjukkan bahwa propaganda Iran lebih berfungsi sebagai instrumen politik daripada pemicu konflik langsung, meskipun tetap menjadi faktor pendorong polarisasi.

Prancis: Tantangan Radikalisme dan Pendekatan Hukum

Sebagai negara sekuler, Prancis menghadapi tantangan dalam bentuk radikalisasi online yang dipicu oleh propaganda asing. Pemerintah merespons dengan undang-undang anti-radikalisme dan pengawasan ketat terhadap konten daring.

Menurut laporan Pew Research (2020), insiden kebencian berbasis agama meningkat 17% setelah konflik Gaza 2021, tetapi mitigasi dilakukan melalui pendekatan hukum dan pendidikan.

Propaganda Iran terhadap Israel telah menjadi isu penting yang mempengaruhi stabilitas sosial di Indonesia dan negara mayoritas Muslim lainnya.

Kata kunci seperti Propaganda Iran, Anti-Israel, Fanatisme Simbol, Indonesia, Intoleransi, Strategi Kontra-Propaganda, Diplomasi Publik, Deradikalisasi, Toleransi Beragama, dan Politik Identitas membantu mengungkap bagaimana narasi kebencian ini menyebar dan memicu fanatisme simbol.

Di Indonesia, dampaknya terlihat melalui peningkatan intoleransi dan polarisasi sosial, yang memerlukan pendekatan strategis untuk deradikalisasi dan diplomasi publik. Sebagai negara sekuler, Prancis menghadapi dampak propaganda Iran terhadap Israel melalui bentuk radikalisasi online yang dipicu oleh narasi anti-Israel.

Fanatisme simbol muncul dalam bentuk peningkatan kebencian berbasis agama, di mana simbol-simbol seperti poster propaganda digunakan untuk memicu intoleransi di masyarakat multikultural.

Setelah peristiwa seperti konflik Gaza, insiden intoleransi meningkat, menciptakan tantangan bagi stabilitas sosial. Pemerintah Prancis merespons dengan strategi kontra-propaganda yang kuat, termasuk undang-undang anti-radikalisme dan pengawasan ketat terhadap konten daring.

Pendekatan ini melibatkan deradikalisasi melalui program pendidikan dan diplomasi publik untuk mempromosikan toleransi beragama. Meskipun propaganda Iran memperburuk politik identitas di Prancis, upaya mitigasi ini membantu mencegah eskalasi yang lebih parah, menjadikan Prancis sebagai contoh bagaimana negara sekuler dapat menangani dampak propaganda asing.

Secara keseluruhan, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa propaganda Iran terhadap Israel tidak hanya memicu fanatisme simbol dan intoleransi di Indonesia dan negara lain, tetapi juga memerlukan pendekatan terintegrasi seperti strategi kontra-propaganda, diplomasi publik, deradikalisasi, dan promosi toleransi beragama.

Di Indonesia, misalnya, peningkatan polarisasi sosial menuntut langkah-langkah serupa untuk mencegah politik identitas yang merusak. Dengan memahami respons di Malaysia, Turki, dan Prancis, kita dapat belajar bahwa keseimbangan antara kebijakan luar negeri dan domestik adalah kunci untuk mengurangi dampak negatif propaganda ini.

Temuan dan Analisis 

Dari analisis yang dilakukan, pengaruh Propaganda Iran dan Anti-Israel menciptakan dampak sosial yang beragam di berbagai negara. Di Indonesia, bentuk propaganda utamanya melalui media sosial dan ceramah keagamaan, yang mengakibatkan intoleransi dan diskriminasi simbolik.

Respons pemerintah di sini masih minim dan cenderung reaktif, sehingga membuat negara ini lebih rentan terhadap internalisasi kebencian yang berkaitan dengan Fanatisme Simbol dan Politik Identitas.

Sebagai perbandingan, di Malaysia, propaganda sering muncul dalam bentuk demonstrasi dan retorika politik, yang menyebabkan polarisasi sosial serta tekanan ekonomi. Respons pemerintah Malaysia lebih moderat dan berorientasi diplomasi, tetapi tetap menjaga stabilitas domestik.

Di Turki, propaganda anti-Israel dimanfaatkan melalui retorika politik dan media negara, yang lebih berfungsi untuk konsolidasi kekuasaan politik daripada menyebabkan intoleransi luas. Respons Turki bersifat strategis dan selektif, mengintegrasikan elemen Toleransi Beragama dalam kebijakan mereka.

Sementara itu, di Prancis, propaganda ini muncul sebagai radikalisasi daring, yang memicu kekerasan berbasis agama. Respons pemerintah Prancis lebih proaktif melalui legislasi dan pendidikan, termasuk program Deradikalisasi dan Strategi Kontra-Propaganda untuk mencegah penyebaran kebencian.

Temuan utama menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kecenderungan lebih tinggi terhadap internalisasi simbolik dari propaganda ini, yang berdampak langsung pada relasi sosial dan kebijakan domestik, tidak seperti negara lain yang memiliki mekanisme lebih sistematis.

Temuan utama menunjukkan bahwa Indonesia lebih rentan terhadap internalisasi simbolik dari propaganda kebencian, yang berdampak langsung pada relasi sosial dan kebijakan domestik. Tidak seperti Turki atau Malaysia, Indonesia belum memiliki strategi kontra-propaganda yang sistematis.

Untuk mengatasi dampak Propaganda Iran dan Anti-Israel, diperlukan Strategi Kontra-Propaganda yang kuat, termasuk Deradikalisasi melalui pendidikan dan diplomasi publik. Di Indonesia, peningkatan Toleransi Beragama dan pemahaman Politik Identitas dapat membantu mengurangi Fanatisme Simbol dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Diskusi dan Evaluasi: Kelemahan Utama Indonesia dalam Menghadapi Propaganda Kebencian: Analisis Mendalam

Kelemahan utama Indonesia dalam menghadapi propaganda kebencian adalah absennya kebijakan komunikasi strategis dan pendidikan kritis yang memadai.

Pemerintah cenderung bersikap reaktif dan tidak memiliki mekanisme untuk membedakan antara solidaritas terhadap Palestina dan penyebaran kebencian terhadap Israel yang berdampak pada kelompok lain.

Selain itu, fanatisme simbol memperlihatkan bagaimana narasi luar dapat mengganggu kohesi sosial dalam negeri. Hal ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dan diskriminasi berbasis simbol.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman budaya dan agama yang tinggi, menghadapi tantangan signifikan dalam menangani propaganda kebencian. Berdasarkan diskusi dan evaluasi, kelemahan utama terletak pada absennya kebijakan komunikasi strategis serta pendidikan kritis yang memadai.

Artikel ini akan menguraikan lebih dalam poin-poin tersebut untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.

Pertama, absennya kebijakan komunikasi strategis menjadi masalah mendasar. Kebijakan ini seharusnya dirancang untuk mengantisipasi dan mencegah penyebaran propaganda kebencian melalui media sosial, pendidikan, dan komunikasi massa.

Tanpa kebijakan yang jelas, pemerintah seringkali hanya bereaksi setelah insiden terjadi, seperti ketika narasi kebencian telah menyebar luas. Hal ini membuat upaya penanganan menjadi kurang efektif dan terlambat.

Misalnya, dalam konteks isu internasional seperti solidaritas terhadap Palestina, narasi yang awalnya positif dapat berubah menjadi alat untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain, seperti warga Israel atau bahkan minoritas di dalam negeri.

Jika kebijakan komunikasi strategis ada, pemerintah bisa mengintegrasikan elemen pendidikan untuk membedakan antara dukungan yang konstruktif dan ujaran yang merusak.

Kedua, pendidikan kritis yang memadai masih belum menjadi prioritas. Pendidikan kritis melibatkan kemampuan individu untuk menganalisis informasi, mengenali bias, dan memahami dampak narasi propaganda.

Di Indonesia, kurikulum pendidikan formal seringkali kurang menekankan aspek ini, sehingga masyarakat mudah terpengaruh oleh narasi ekstrem. Contohnya, dalam kasus solidaritas Palestina, banyak orang mungkin tidak membedakan antara kritik terhadap kebijakan negara tertentu dengan diskriminasi terhadap kelompok etnis atau agama.

Akibatnya, propaganda kebencian dapat merembes ke dalam masyarakat, memperburuk ketegangan sosial. Untuk mengatasi ini, pendidikan kritis perlu diintegrasikan mulai dari tingkat sekolah dasar, dengan modul yang mengajarkan cara berpikir kritis dan empati terhadap perbedaan.

Pemerintah cenderung bersikap reaktif daripada proaktif, yang memperburuk situasi. Alih-alih memiliki mekanisme pencegahan, seperti tim khusus untuk memantau dan mengklasifikasikan konten online, respons sering kali datang setelah kerusuhan atau konflik meletus.

Misalnya, dalam membedakan antara solidaritas terhadap Palestina dan penyebaran kebencian terhadap Israel, pemerintah perlu mekanisme seperti pedoman hukum yang jelas atau platform verifikasi informasi.

Tanpa hal ini, kebencian dapat menular ke kelompok lain, seperti komunitas minoritas di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kohesi sosial nasional. Evaluasi menunjukkan bahwa pendekatan reaktif ini tidak hanya tidak efisien tetapi juga memperpanjang siklus propaganda.

Selanjutnya, fanatisme simbol menjadi indikator bagaimana narasi luar dapat mengganggu kohesi sosial dalam negeri. Simbol-simbol seperti bendera atau slogan yang berasal dari isu global seringkali diadopsi tanpa pemahaman mendalam, mengakibatkan polarisasi.

Di Indonesia, fanatisme ini dapat terlihat dalam aksi massa atau media sosial, di mana simbol digunakan untuk membangun identitas kelompok, tetapi justru memicu diskriminasi. Hal ini mengganggu kohesi sosial karena masyarakat menjadi terbagi antara kelompok yang saling menyalahkan.

Untuk menguraikannya lebih dalam, fanatisme simbol sering kali berakar dari kurangnya dialog antar-kelompok, yang seharusnya difasilitasi oleh pemerintah melalui program komunitas atau workshop kesadaran budaya.

Terakhir, lemahnya penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dan diskriminasi berbasis simbol memperparah masalah ini. Undang-undang seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) ada, tetapi penerapannya sering lambat dan tidak konsisten.

Akibatnya, pelaku propaganda kebencian merasa aman untuk terus menyebarkan konten, baik secara online maupun offline. Evaluasi menunjukkan bahwa penegakan hukum yang lemah ini menciptakan lingkungan di mana diskriminasi berbasis simbol, seperti penggunaan gambar atau kata-kata yang menyerang kelompok tertentu, menjadi norma.

Untuk memperbaiki ini, diperlukan reformasi hukum yang lebih tegas, termasuk sanksi yang adil dan cepat, serta keterlibatan masyarakat dalam pelaporan.

Secara keseluruhan, kelemahan ini dapat diatasi melalui pendekatan holistik, seperti penguatan kebijakan, pendidikan, dan penegakan hukum. Dengan demikian, Indonesia dapat membangun masyarakat yang lebih tangguh terhadap propaganda kebencian, menjaga keragaman sebagai kekuatan nasional.

Solusi Strategis

Dalam konteks masyarakat yang semakin terhubung secara digital, Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya dan agama yang tinggi, menghadapi tantangan serius terkait propaganda kebencian, khususnya yang berkaitan dengan isu global seperti konflik Israel-Palestina.

Menyoroti strategi nasional yang komprehensif untuk membangun toleransi dan literasi media. Menekankan pentingnya pendekatan holistik yang mengintegrasikan pendidikan, komunikasi pemerintah, dan diplomasi publik.

Pertama, Pendidikan Multikultural dan Literasi Media. Pendidikan multikultural dan literasi media menjadi pondasi utama dalam membentuk generasi yang kritis dan toleran.

Integrasi kurikulum pendidikan kritis di sekolah dan universitas melibatkan penyisipan materi-materi yang mengajarkan siswa untuk memahami keragaman budaya, agama, dan perspektif global.

Misalnya, kurikulum dapat mencakup modul-modul tentang sejarah konflik internasional, di mana siswa belajar membedakan antara kritik yang konstruktif terhadap kebijakan suatu negara dengan ujaran kebencian yang berbasis prasangka. Hal ini penting karena, di Indonesia, masyarakat sering terpapar informasi yang tidak terverifikasi melalui media sosial, yang dapat memperburuk polarisasi.

Pelatihan guru dan dosen memainkan peran krusial di sini. Pemerintah dapat mengadakan program pelatihan rutin, seperti workshop atau sertifikasi, untuk membekali pendidik dengan keterampilan mengajarkan toleransi.

Contohnya, pelatihan ini bisa mencakup teknik analisis media, di mana guru belajar cara membimbing siswa mengidentifikasi bias dalam berita atau propaganda. Selain itu, kampanye nasional untuk membedakan antara kritik terhadap kebijakan Israel dan ujaran kebencian anti semit perlu digencarkan.

Kampanye ini bisa berupa program edukasi masyarakat melalui media massa, seperti iklan televisi atau kampanye online, yang menekankan nilai-nilai Pancasila seperti kerukunan umat beragama.

Dengan demikian, pendidikan tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun ketahanan mental terhadap pengaruh negatif eksternal.

Kedua, Strategi Komunikasi Pemerintah

Strategi komunikasi pemerintah adalah langkah proaktif untuk memerangi penyebaran propaganda kebencian melalui platform digital. Pembentukan satuan tugas kontra-propaganda di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat menjadi pusat koordinasi utama.

Satuan tugas ini bertugas memantau konten online yang berpotensi memicu kebencian, seperti postingan yang mempromosikan diskriminasi berdasarkan agama atau etnis.

Misalnya, mereka bisa menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mendeteksi konten berbahaya secara real-time dan bekerja sama dengan penyedia layanan internet untuk menghapusnya.

Kolaborasi dengan platform digital, seperti Facebook, Twitter, atau YouTube, adalah aspek penting lainnya. Pemerintah dapat menandatangani kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan ini untuk menerapkan kebijakan bersama, di mana konten kebencian dilaporkan dan ditindaklanjuti dalam waktu singkat.

Selain itu, penyusunan narasi alternatif berbasis nilai-nilai Pancasila dan pluralisme menjadi kunci. Ini melibatkan pembuatan kampanye komunikasi yang positif, seperti video edukasi atau artikel yang menyoroti keberhasilan Indonesia dalam menjaga kerukunan antaragama.

Dengan cara ini, narasi nasional dapat melawan pengaruh propaganda asing, memastikan bahwa masyarakat Indonesia lebih memahami dan menghargai keberagaman.

Ketiga, Diplomasi Publik dan Aliansi Strategis

Diplomasi publik dan aliansi strategis memperluas upaya domestik ke arena internasional, membantu Indonesia memposisikan diri sebagai negara yang netral dan konstruktif dalam isu-isu global seperti konflik Israel-Palestina.

Penguatan diplomasi publik melibatkan kegiatan seperti konferensi, kunjungan diplomatik, dan program pertukaran budaya untuk menjelaskan posisi Indonesia. Misalnya, Indonesia bisa mengadakan forum internasional di mana para pemimpin membahas cara membangun perdamaian tanpa memihak, sambil menekankan prinsip non-blok yang menjadi ciri diplomasi Indonesia.

Kerja sama dengan negara-negara yang memiliki pengalaman dalam menangani propaganda kebencian, seperti negara-negara Eropa yang telah menghadapi isu anti semitisme, dapat memberikan manfaat. Indonesia bisa belajar dari model mereka, seperti program pendidikan anti-diskriminasi di Jerman atau Prancis, dan mengadaptasinya ke konteks lokal.

Selain itu, mendorong dialog antaragama lintas negara dan pertukaran pemuda adalah langkah konkret. Program seperti pertukaran pelajar antara Indonesia dan negara Timur Tengah atau Eropa dapat memfasilitasi pemahaman langsung, di mana pemuda belajar dari pengalaman satu sama lain untuk membangun toleransi.

Hal ini tidak hanya memperkuat citra Indonesia sebagai penengah global, tetapi juga menciptakan jaringan internasional yang mendukung nilai-nilai perdamaian.

Secara keseluruhan, strategi ini menunjukkan bahwa pendekatan Indonesia terhadap isu kebencian dan propaganda harus komprehensif, melibatkan pendidikan untuk membangun dasar, komunikasi untuk respons cepat, dan diplomasi untuk pengaruh jangka panjang. Dengan implementasi yang konsisten, Indonesia dapat memperkuat identitas sebagai negara yang damai dan inklusif, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Propaganda kebencian anti-Israel yang dipelopori oleh Iran telah menciptakan dinamika sosial-politik yang kompleks di Indonesia.

Fanatisme simbol yang berkembang melalui narasi keagamaan dan media sosial telah memperkuat intoleransi dan diskriminasi, serta mengganggu stabilitas sosial. Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menunjukkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap internalisasi propaganda tersebut.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan strategis yang mencakup pendidikan kritis, komunikasi pemerintah yang efektif, dan diplomasi publik yang aktif. Hanya dengan cara ini Indonesia dapat membangun masyarakat yang toleran, inklusif, dan tahan terhadap pengaruh ideologis dari luar negeri.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan holistik, Antara lain; Pertama, memperkuat pendidikan multikultural melalui kurikulum sekolah, mempromosikan dialog antar umat beragama secara rutin, dan menerapkan program deradikalisasi yang lebih efektif oleh pemerintah.

Kedua, peningkatan kesadaran media digital untuk memfilter propaganda dapat membantu mencegah penyebaran kebencian, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih toleran dan stabil.

Analisis Revolusioner: Menggugat Hegemoni Propaganda Anti-Israel di Indonesia dan Dunia Muslim

Membongkar Mesin Propaganda dan Rekayasa Kebencian, kita tak akan menelan mentah-mentah narasi dominan.  Kita akan membedah  “Analisis Komparatif Pengaruh Propaganda Anti-Israel oleh Iran di Indonesia dan Negara Mayoritas Muslim Lainnya” dengan pisau analisis yang tajam, mengupas lapisan demi lapisan kepalsuan yang disusun secara sistematis. 

Tiga pendekatan revolusioner akan kita gunakan. Pertama: Mengungkap Imperialisme Simbolik dan Eksploitasi Sentimen Agama.

Fanatisme simbolis anti-Israel di Indonesia bukanlah fenomena organik. Ini adalah hasil rekayasa, sebuah proyek imperialisme simbolik yang dijalankan oleh kekuatan eksternal, terutama Iran, untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan internal dan memperluas pengaruhnya.

Dengan memanfaatkan sentimen keagamaan, Iran berhasil menanamkan kebencian terhadap Israel di kalangan masyarakat Indonesia, menciptakan perpecahan dan menghambat kemajuan bangsa. 

Kehadiran tokoh-tokoh seperti Zakir Naik bukanlah kebetulan; mereka adalah pion yang diposisikan secara strategis untuk menyebarkan propaganda kebencian, menciptakan iklim intoleransi yang menguntungkan agenda Iran.

Kasus Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia yang didiskualifikasi karena memegang bendera Israel, adalah contoh nyata bagaimana propaganda ini berhasil mengendalikan opini publik dan mengikis nilai-nilai toleransi. 

Ini bukan sekadar masalah “fanatisme”, tetapi sebuah strategi terencana untuk menguasai pikiran dan mengendalikan tindakan.

 Kedua: Mengupas Kebijakan Represif dan Kemunafikan Negara. Pemerintah Indonesia, alih-alih melawan propaganda ini, malah ikut bermain dalam permainan tersebut. Kebijakan-kebijakan represif terkait pembangunan rumah ibadah, yang seringkali memperburuk ketegangan antar umat beragama, menunjukkan ketidakmampuan dan bahkan kesengajaan dalam membiarkan propaganda kebencian berkembang.

Penolakan kerjasama dengan Israel dan pembatasan kedatangan tim nasionalnya bukanlah tindakan yang didasarkan pada prinsip keadilan, tetapi merupakan bukti kepatuhan pada tekanan politik dan kepentingan kelompok tertentu. Ini adalah bentuk kemunafikan negara yang memperparah situasi dan menghambat upaya menuju perdamaian dan toleransi.

Sikap ini, yang bertolak belakang dengan kampanye toleransi yang selalu digembar-gemborkan, menunjukkan betapa dangkalnya komitmen pemerintah terhadap nilai-nilai demokrasi dan keadilan.

Ketiga:  Membandingkan dan Mengkontraskan Strategi Penindasan di Berbagai Negara.

Perbandingan dengan Malaysia dan Turki menunjukkan bahwa dampak propaganda anti-Israel bervariasi tergantung pada konteks politik masing-masing negara. Di Malaysia, demonstrasi massal mengganggu stabilitas ekonomi, sementara di Turki, propaganda ini memperkuat posisi pemerintah dalam isu luar negeri.

Di Indonesia, dampaknya lebih terfokus pada erosi toleransi dan kebijakan domestik yang represif. Perbedaan ini menunjukkan bahwa strategi penindasan dan kontrol sosial yang digunakan oleh rezim-rezim otoriter sangat bervariasi.

Namun, benang merahnya adalah eksploitasi sentimen keagamaan dan penindasan kebebasan berekspresi. Di Eropa, seperti Prancis, upaya melawan propaganda dilakukan dengan cara yang berbeda, yaitu melalui undang-undang anti-radikalisme yang lebih ketat.

Hal ini menunjukan bahwa strategi untuk melawan propaganda kebencian harus disesuaikan dengan konteks sosial dan politik masing-masing negara.

Kesimpulan: Membangun Revolusi Toleransi dan Keadilan

Untuk melawan hegemoni propaganda anti-Israel dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan toleran, diperlukan pendekatan revolusioner yang holistik dan komprehensif. Tiga strategi berikut ini perlu dijalankan secara simultan:

Pertama: Pendidikan kritis dan pemberdayaan masyarakat. Kurikulum sekolah harus direvisi untuk mempromosikan pemahaman yang lebih kritis tentang isu Palestina-Israel, menghindari penyederhanaan yang memicu kebencian. Program deradikalisasi yang efektif harus fokus pada pemberdayaan masyarakat, bukan hanya penindasan.

Kedua: Reformasi media dan melawan disinformasi. Media digital harus diatur untuk mencegah penyebaran propaganda dan disinformasi.  Literasi digital yang kuat harus diajarkan kepada masyarakat untuk meningkatkan ketahanan terhadap manipulasi informasi.

Ketiga: Demokratisasi dan transparansi pemerintahan. Pemerintah harus lebih transparan dan akuntabel dalam pengambilan keputusan, menghindari kebijakan yang diskriminatif dan memperburuk polarisasi sosial.

Keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah mencerminkan kepentingan seluruh rakyat.

Hanya dengan pendekatan revolusioner yang berani dan komprehensif, kita dapat membongkar mesin propaganda, melawan hegemoni, dan membangun masyarakat yang berdasarkan pada keadilan, toleransi, dan perdamaian.

(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Papua yang meminati studi dinamika politik nasional dan internasional. Tulisan ini dikutip dari wenebuletin untuk kepentingan edukasi.