Oleh : Imanuel Tahrin *
Negeri Maybrat (remo ro Maybrat) dikenal dengan ‘boo’ atau kekayaan budaya dan adat istiadat yang kuat. Ini termasuk dalam hal sistem marga dan pengelolaan tanah adat komunal (tabam). Dalam kehidupan masyarakat Maybrat, marga dan tanah adat memainkan peran yang sangat penting, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
Karena itu, penting untuk memahami bagaimana kedua elemen ini berinteraksi dan berkontribusi dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Maybrat. Ada empat Sub Suku Besar yang mendiami remo ro maybrat yaitu; Ayamaru, Aifat, Aitinyo dan Mare, dimana setiap marga mendiami (mehu tioh) tempat masing-masing sub marga itu. Setiap sub suku ini menggunakan bahasa Maybrat yang sama dengan dialek khas masing-masing.
Marga merupakan salah satu elemen penting dalam struktur sosial ‘rae’ atau masyarakat Maybrat. Secara tradisional, marga mencerminkan garis keturunan dan identitas suatu keluarga atau suku. Marga di Maybrat tidak hanya berfungsi sebagai penanda identitas etnis, tetapi juga penjaga untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal di tanah adat itu.
Marga menjadi unsur yang mendefinisikan hubungan kekeluargaan dan sosial dalam masyarakat. Setiap anggota marga memiliki kewajiban untuk menjaga kehormatan marga, berkontribusi dalam kegiatan adat, dan menjaga hubungan baik dengan anggota marga lainnya. Kekerabatan yang terjalin melalui marga ini juga berfungsi sebagai sistem pertahanan sosial yang solid.
Dalam sistem hukum adat Maybrat, marga juga memegang peranan penting. Setiap marga memiliki aturan dan tanggung jawab tertentu yang harus dijalankan oleh anggotanya. Pelanggaran (safo) yang terjadi dalam suatu marga sering kali diselesaikan secara adat, dengan melibatkan para tetua adat (rae mabi) dan orang terpandang (rae bobot) dalam anggota marga maupun keluarga yang berada atau tinggal bersama-sama.
Tanah adat (tabam) merupakan tanah yang dimiliki secara bersama (kolektif) oleh suatu komunitas atau suku, yang diwariskan secara turun-temurun dan dikelola berdasarkan hukum adat. Tanah ini tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga nilai budaya dan spiritual yang sangat tinggi bagi masyarakat Maybrat.
Pandangan mengenai pengaruh budaya dalam adaptasi ruang dan nilai-nilai sosial terhadap penggunaan lahan telah dibahas oleh beberapa ahli, seperti Walter Firey dan F. Stuart Chapin Jr. Firey dalam bukunya Land Use in Central Boston (1947) menjelaskan bahwa penggunaan lahan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi atau fisik semata, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan sosial yang melekat pada masyarakat tersebut.
Sementara itu, F. Stuart Chapin Jr. dalam bukunya Urban Land Use Planning (edisi pertama diterbitkan pada tahun 1957) mengklasifikasikan manfaat tanah ke dalam tiga kelompok utama: Pertama, nilai keuntungan, yangdihubungkan dengan tujuan ekonomi dan dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasar bebas. Kedua, nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
Ketiga, nilai social, dimana tanah merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan. Misalnya, sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka dan sebagainnya, dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.
Pertimbangan dalam suatu kelompok masyarakat terhadap fungsi (kepentingan) tanah di berbagai wilayah mungkin berbeda. Tergantung struktur sosial masyarakat tertentu yang memberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Bila hal itu tidak terpenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan.
Setiap suku atau marga memiliki hak atas tanah adat yang dikelola. Tanah ini bukan hanya digunakan untuk kegiatan pertanian atau pemukiman, tetapi juga memiliki makna yang dalam, terkait dengan kehidupan sosial dan budaya. Tanah adat adalah simbol dari hubungan erat antara manusia dengan alam (kosmologi), dan keberadaannya dijaga dengan penuh tanggung jawab oleh masyarakat adat.
Tuntutan Pembangunan dan Konflik Tanah
Di usia ke 16 tahun berdirinya Kabupaten Maybrat (2009-2025), konflik dan tantangan seputar tanah adat (tabam) muncul baik dari faktor eksternal, yakni kebijakan pembangunan dan investasi maupun dari dalam masyarakat adat itu sendiri, terutama antar marga dan antar anggota keluarga.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan terbentuknya Kabupaten Maybrat, banyak tanah adat kini terancam oleh berbagai kepentingan pembangunan dan ekonomi yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pelepasan tanah untuk pembangunan fasilitas pemerintahan. Marga Wafom misalnya, telah melepaskan tanah adat mereka untuk pembangunan kantor-kantor pemerintahan Kabupaten Maybrat di wilayah Fait, Kumurkek, yang menjadi area ibukota kabupaten.
Meskipun pembangunan ini dinilai penting untuk kemajuan daerah, pelepasan tanah adat membawa dampak jangka panjang bagi generasi marga Wafom. Tanpa tanah warisan, generasi berikutnya harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli tanah guna membangun rumah atau memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Tanah, yang dulu diwariskan, kini berubah menjadi barang dagangan yang mahal.
Kedua, perkebunan kelapa sawit di Aifat Selatan. Di wilayah Aifat Selatan, sebagian tanah adat telah ditanami kelapa sawit oleh perusahaan swasta. Meski kehadiran perusahaan ini dianggap mendatangkan investasi dan lapangan kerja, dampaknya justru merugikan masyarakat adat.
Hutan yang selama ini dianggap sebagai “mama” yang memberi makan, obat, kayu, dan tempat berburu, semakin menyempit. Generasi muda kehilangan ruang hidup, kesulitan mencari kayu bangunan, dan terpaksa membeli bahan dari luar dengan harga tinggi.
Ketiga, penebangan liar (ilegal logging). Penebangan liar terjadi secara masif di wilayah Distrik Aifat (Kampung Ainot) dan Distrik Aifat Timur Tengah (Kampung Faan Kahrio). Kayu-kayu dari tanah adat ditebang dan dijual, memberikan keuntungan jangka pendek bagi para pengusaha dan pihak pemerintah yang terlibat.
Namun masyarakat adat justru menanggung kerugian besar: hutan rusak, satwa liar terancam punah, dan tempat berburu hilang. Mereka pun harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli kayu bangunan dari luar kampung.
Keempat, pengambilan material berupa penggalian pasir dan batu kapur. Di beberapa wilayah Maybrat, masyarakat menjual pasir dan batu kapur dari tanah adat untuk kepentingan pembangunan. Aktivitas ini memang memberikan keuntungan langsung, tetapi generasi mendatang akan menghadapi kelangkaan pasir dan material batu kapur di wilayah tanah adat mereka.
Selain itu, penggalian yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang permanen. Ketika musim hujan tiba, wilayah bekas galian rawan banjir dan longsor.
Kelima, masalah antar marga: konflik internal masyarakat adat. Dengan meningkatnya nilai ekonomi tanah adat, banyak marga mulai mengklaim tanah berdasarkan garis keturunan, seperti antara kakak (ro yanes) dan adik (ro yaku), atau antar marga yang berbeda.
Posisi kakak sering kali dianggap lebih berhak atas tanah, sehingga proses jual-beli tanah tidak jarang dilakukan secara sepihak tanpa kompromi melalui keputusan bersama (kolektif). Konflik tanah antar keluarga ini bisa berujung pada kekerasan fisik, pertengkaran, bahkan kematian.
Sayangnya, konflik seperti ini seringkali dipicu oleh kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai kepemilikan dan pemanfaatan tanah adat, serta tidak adanya fasilitasi musyawarah adat yang rutin di tingkat kampung.
Di sisi lain, masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap mudah tergoda ketika ditawari uang besar oleh pembeli atau investor tanah. Akibatnya, tanah adat dijual tanpa mempertimbangkan masa depan anak cucu mereka.
Upaya Penyelesaian dan Peran Musyawarah Adat
Di tengah konflik yang terjadi, masyarakat Maybrat masih mempertahankan musyawarah adat sebagai cara penyelesaian konflik tanah atau untuk menyelesaikan berbagai konflik. Musyawarah ini biasanya dihadiri oleh tokoh adat, tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat. Tujuannya adalah menemukan solusi yang adil dan menghormati nilai-nilai adat yang telah diwariskan turun-temurun.
Setiap marga bertanggung jawab menjaga kelestarian tanahnya, memastikan tidak dieksploitasi berlebihan, dan merawat hubungan spiritual dengan leluhur maupun alam (hubungan kosmologis).
Hubungan antara marga dan tanah adat di Kabupaten Maybrat sangat erat. Tanah adat di Maybrat pada dasarnya dibagi dan diatur menurut sistem marga sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat yang berasal dari marga tertentu memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengelola tanah adat mereka secara berkelanjutan.
Marga juga berfungsi sebagai penjaga kelestarian tanah adat. Setiap anggota marga diharapkan dapat menjaga kelestarian alam, menghindari eksploitasi berlebihan, dan menjaga hubungan harmonis dengan alam serta leluhur yang mewariskan tanah tersebut.
Pelestarian marga dan tanah adat di Kabupaten Maybrat kini menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar komunitas adat itu sendiri. Tantangan terbesar datang dari pengaruh globalisasi dan modernisasi yang membawa tekanan pembangunan sehingga mengancam eksistensi tanah adat beserta sistem marga yang ada.
Oleh karena itu, pentingnya kesadaran dan kerjasama antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak swasta untuk memastikan bahwa hak-hak adat tetap dihormati dan dilindungi. Marga dan tanah adat adalah dua elemen penting yang membentuk kehidupan sosial dan budaya masyarakat Maybrat.
Keduanya memiliki nilai yang sangat penting dan tidak hanya berfungsi sebagai sistem organisasi sosial, tetapi juga sebagai penghubung antara manusia dengan alam dan leluhur mereka. Penting bagi masyarakat Maybrat untuk terus menjaga dan melestarikan marga serta tanah adat mereka agar generasi mendatang dapat menikmati dan merasakan manfaat dari warisan budaya ini.
Membangun Kesadaran Baru: Menjaga Warisan Leluhur
Pelestarian marga dan tanah adat kini menghadapi tantangan besar dari modernisasi, investasi, dan ketidaksiapan masyarakat adat menghadapi perubahan. Dalam kondisi ini, penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa tanah bukan hanya aset ekonomi, tapi juga warisan budaya dan identitas.
Dalam menghadapi tantangan modernisasi dan kebijakan pembangunan yang seringkali tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan marga dan tanah adat di Kabupaten Maybrat.
Karena itu seluruh komponen kelembagaan masyarakat adat Maybrat beserta pemerintah daerah, pihak perguruan tinggi, LSM/NGO dan organisasi keagamaan yang ada, perlu melakukan berbagai langkah sebagai berikut.
Pertama, melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pemanfaatan dan menjaga tanah adat agar masyarakat tidak menjual tanah beserta warisan SDA di dalamnya dengan sembarangan. Karena jika tanah adat habis, marga tidak akan dipakai lagi.
Kedua, memfasilitasi forum musyawarah adat antarmarga secara regular guna membahas tantangan pembangunan dan permasalahan yang ada. Ketiga, membantu masyarakat membuat peta partisipatif wilayah adat untuk mencegah konflik. Keempat, mendorong pendidikan tentang nilai tanah adat di sekolah-sekolah lokal (formal) maunpun melalui sekolah adat (informal) seperti pendidikan inisiasi adat wion-wofle.
Masyarakat adat sendiri juga perlu menyadari bahwa menjual tanah secara sembarangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap generasi berikutnya. Jika semua tanah dijual, maka marga akan kehilangan identitas, jati diri (wibawa) dan fungsinya. Perlu diingat bahwa “Marga tanpa tanah, tidak akan lagi diakui dalam sistem sosial masyarakat adat”.
Tanah adat dan sistem marga adalah pilar utama kehidupan masyarakat Maybrat. Keduanya bukan sekadar struktur sosial, tetapi jembatan antara manusia, alam, dan leluhur. Jika tanah habis karena dijual atau dirusak demi kepentingan sesaat, maka hilang pula jati diri dan masa depan generasi mendatang.
Oleh karena itu, menjaga tanah adat bukan hanya soal mempertahankan ruang hidup, tetapi juga mempertahankan martabat dan kelangsungan hidup masyarakat adat Maybrat di tengah gempuran zaman.
(*) Penulis adalah aktivis lingkungan, pegiat pembangunan masyarakat dan salah satu pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Maybrat yang tinggal di Kampung Susumuk, Maybrat.