Oleh : Nikodemus Kambu*

PRAKTEK retribusi liar atau pungutan liar (pungli) yang tumbuh subur di berbagai titik strategis kota Manokwari tidak dapat dipandang semata sebagai pelanggaran kecil atau perbuatan individu.

Fenomena ini sesungguhnya adalah simtom dari sebuah sistem tata kelola daerah yang belum sepenuhnya efektif dalam menjamin pelayanan publik yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada masyarakat.

Retribusi liar bukan hanya soal pelanggaran aturan. Tapi menyangkut kegagalan daerah dalam membangun mekanisme pengawasan, memperjelas regulasi, dan menginternalisasi nilai-nilai kesadaran hukum di tingkat pemerintahan maupun warga.

Untuk menganalisis fenomena pungli, penting untuk memahami esensi retribusi daerah. Berikut adalah pengertian retribusi menurut para ahli dan akademisi di bidang hukum dan administrasi negara:

Jose Vernez, menjelaskan retribusi merupakan pembayaran yang diwajibkan oleh peraturan daerah sebagai imbalan atau jasa langsung yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pihak tertentu.

Sementara Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau izin tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah, yang dapat dirasakan langsung oleh pihak yang membayar.

Siahaan (2005) juga menjelaskan retribusi daerah ialah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk kebutuhan pribadi atau badan.

Sedangkan Mardiasmo (2009), mendefinisikan retribusi daerah ialah pembayaran dari rakyat kepada daerah atas pelayanan tertentu yang disediakan oleh daerah, yang sifat pelayanannya dapat dirasakan dan digunakan secara langsung oleh yang membayar.

Secara fundamental, retribusi daerah memiliki beberapa tujuan. Misalnya, menyediakan pelayanan publik. Dimana retribusi sebagai imbalan atas pelayanan atau izin tertentu yang diberikan daerah, sehingga dapat menjamin kualitas dan ketersediaan pelayanan tersebut bagi masyarakat.

Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Retribusi menjadi salah satu sumber penerimaan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pembangunan daerah.

Retribusi bertujuan membangun kemandirian daerah. Melalui retribusi, daerah dapat mengurangi ketergantungan dari anggaran pusat dan dapat mengelola kebutuhan daerah dengan lebih mandiri.

Selain itu, retribusi membantu pengendalian pemanfaatan fasilitas publik. Dimana retribusi digunakan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan fasilitas daerah, agar digunakan secara tertib dan efisien.

Selain tujuan, retribusi juga mempunyai manfaat signifikan bagi pembiayaan pembangunan daerah yang meliputi: Penyediaan Sarana dan Prasarana Publik. Hasil retribusi dapat digunakan untuk pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur daerah (pasar, jalan, tempat parkir).

Retribusi memungkinkan daerah mengoptimalkan pelayanan bagi masyarakat sesuai kebutuhan dan tingkat kemampuan daerah. Demikian juga retribusi daerah dapat digunakan untuk kebutuhan daerah yang belum tersentuh pembangunan, sehingga dapat mendorong pemerataan pembangunan daerah.

Dengan retribusi, masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran yang mereka keluarkan, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dalam pembangunan daerah.

Akar Masalah Pengelolaan Retribusi Daerah

Maraknya praktik retribusi liar di Manokwari dapat ditelusuri dari belum memadainya sistem regulasi daerah terkait tata kelola penerimaan daerah dan pelayanan publik.

Regulasi daerah yang belum jelas, belum tersosialisasi dengan baik, atau belum sepenuhnya diimplementasikan, memberikan peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi keadaan ini guna memungut retribusi tidak resmi dari warga.

Idealnya, sebuah daerah yang telah otonom harus dapat mengatur dan mengelola penerimaan daerah dengan mekanisme yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun di Manokwari, belum jelas siapa yang berwenang memungut retribusi di titik-titik tertentu, berapa tarif yang sah, dan bagaimana mekanisme pelaporan serta pengawasan dari penerimaan daerah tersebut.

Akibat dari keadaan ini ialah tumbuh dan berkembangnya pola pungutan liar yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah. Analisis ini dapat diperkuat dengan Teori Kegagalan Negara (State Failure).

Dalam konteks ini, kegagalan negara (dalam hal ini pemerintah daerah) terjadi ketika institusi-institusi pemerintah tidak mampu menyediakan barang publik esensial, menjaga hukum dan ketertiban, serta menerapkan kebijakan secara efektif.

Pungli adalah indikator jelas dari kegagalan ini, di mana pemerintah daerah tidak mampu menjamin kepastian hukum terkait pungutan, pengawasan internal yang lemah, dan penegakan hukum yang tidak konsisten. Ini mencerminkan lemahnya kapasitas institusional dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Selain itu, pengawasan dari aparatur daerah juga belum sepenuhnya memadai. Satuan kerja terkait, seperti Dinas Perhubungan, Satpol PP, maupun Badan Pendapatan Daerah, belum optimal dalam melakukan pengawasan intensif guna mencegah dan menindak tegas pelaku pungli.

Rendahnya intensitas pemeriksaan dan belum jelasnya mekanisme pelaporan pelanggaran membuat pelaku merasa bahwa risiko dari praktik ini relatif kecil, bahkan dapat diabaikan.

Hal ini sejalan dengan Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) dalam kriminologi, di mana individu melakukan tindakan melanggar hukum (pungli) ketika mereka mempersepsikan manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko sanksi atau hukuman yang akan diterima. Jika pengawasan lemah dan penegakan hukum tumpul, insentif untuk melakukan pungli akan meningkat.

Krisis Kesadaran Hukum dan Keterbatasan Ekonomi

Selain soal tata kelola pemerintahan, aspek kesadaran hukum di tingkat masyarakat juga memegang peranan signifikan dalam tumbuh dan berkembangnya praktik retribusi liar. Rendahnya tingkat literasi hukum membuat sebagian warga belum memahami perbedaan antara retribusi resmi dan pungutan liar.

Bahkan dalam beberapa konteks, sebagian warga menerima begitu saja pola pungutan ini sebagai hal yang “wajar” dan dapat dimaklumi, khususnya bila terkait dengan kebutuhan sehari-hari, seperti parkir kendaraan, masuk area wisata, atau memanfaatkan fasilitas umum lainnya.

Keterbatasan ekonomi juga dapat mendorong tumbuh suburnya retribusi liar. Mereka yang terlibat sebagai pelaku pungli sering kali bukan semata-mata terkait dengan niat untuk merugikan pihak lain, tetapi juga sebagai bentuk dari mekanisme bertahan hidup di tengah keterbatasan kesempatan kerja dan belum meratanya pembangunan daerah.

Fenomena ini membuat praktik retribusi liar bukan hanya soal pelanggaran aturan, tetapi juga soal kebutuhan ekonomi yang belum dapat dijawab dengan mekanisme formal yang memadai.

Kondisi ini dapat dijelaskan melalui Teori Anomi (Anomie Theory) oleh Émile Durkheim dan kemudian dikembangkan oleh Robert Merton. Anomi merujuk pada kondisi di mana norma-norma sosial melemah atau tidak jelas, sehingga individu kehilangan arah dan dapat melakukan penyimpangan.

Dalam konteks ini, ketidakjelasan regulasi dan lemahnya penegakan hukum menciptakan kondisi anomi di mana batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur. Ditambah dengan tekanan ekonomi, individu (pelaku pungli) mencari cara alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan jika itu melanggar aturan.

Sementara itu, masyarakat yang menjadi korban juga bisa mengalami anomi dalam bentuk penerimaan pasif karena merasa tidak ada saluran efektif untuk melaporkan atau melawan.

Ancaman Iklim Investasi dan Kepercayaan Publik

Retribusi liar membawa implikasi yang signifikan bagi perkembangan daerah. Secara internal, pola ini menciptakan efek domino negatif bagi sistem pelayanan publik daerah.

Retribusi yang tidak dapat diaudit dan tidak tercatat dengan baik dapat menciptakan kebocoran penerimaan daerah, mengurangi nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan merusak daya saing daerah dari segi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Dari sisi eksternal, maraknya retribusi liar dapat menciptakan citra negatif bagi daerah di mata calon investor maupun wisatawan. Daerah yang belum dapat menjamin pelayanan publik yang transparan dan bebas dari pungli sulit untuk dapat menarik investasi yang membawa nilai tambah bagi pembangunan daerah.

Demikian juga bagi wisatawan dan pelaku usaha kecil yang membutuhkan kenyamanan dan jaminan bahwa daerah yang mereka kunjungi dapat memberikan pelayanan yang standar dan dapat diandalkan.

Implikasi ini sangat relevan dengan Teori Institusional (Institutional Theory). Institusi (norma, aturan, dan praktik) yang korup dan tidak transparan akan menghambat legitimasi dan efisiensi sistem. Investor dan wisatawan mencari lingkungan yang stabil, prediktif, dan bebas korupsi.

Pungli menciptakan ketidakpastian biaya dan risiko hukum, yang secara fundamental merusak daya tarik investasi. Kepercayaan publik yang terkikis juga merupakan konsekuensi dari kegagalan institusi untuk menjalankan fungsinya secara adil dan transparan.

Langkah Strategis untuk Membenahi Retribusi Liar

Menghapuskan praktik retribusi liar bukan hanya soal penegakan aturan, tetapi juga soal mengembalikan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha bahwa daerah dapat memberi jaminan pelayanan publik yang transparan dan adil.

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Manokwari di antaranya:

Pertama, penataan Regulasi Daerah. Memperbarui dan memperjelas aturan terkait retribusi daerah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan daerah.

Regulasi harus memuat rincian jelas mengenai tempat, tarif, mekanisme pemungutan, dan prosedur pelaporan penerimaan daerah. Ini adalah langkah fundamental untuk mengatasi anomi institusional.

Kedua, Penguatan Pengawasan dan Penegakan Aturan. Membentuk tim khusus untuk melakukan pengawasan intensif dan inspeksi lapangan guna memastikan bahwa retribusi daerah dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Aparat penegak hukum juga harus dapat memberi sanksi tegas bagi pelaku pungli. Penegasan ini penting untuk mengubah perhitungan biaya-manfaat bagi pelaku pungli (Rational Choice Theory) dan menegakkan kembali supremasi hukum.

Ketiga, Edukasi Publik dan Sosialisasi Regulasi Daerah. Membangun kesadaran kolektif melalui kampanye edukasi bagi warga mengenai perbedaan retribusi resmi dan pungutan liar, termasuk mekanisme pelaporan pelanggaran yang dapat diakses oleh publik.

Ini krusial untuk meningkatkan literasi hukum masyarakat dan mengurangi kondisi anomi di tingkat individu.

Keempat, penyediaan kesempatan ekonomi yang berkeadilan: Memberikan pelatihan dan peluang kerja bagi pihak-pihak yang terdorong melakukan pungutan liar, guna mengurangi motivasi ekonomi dari praktik ini. Pendekatan ini mengakui faktor keterbatasan ekonomi sebagai pendorong pungli dan mencoba mengatasinya dengan solusi struktural.

Kelima, pembangunan Teknologi Pembayaran Non-Tunai. Membangun sistem pembayaran digital untuk retribusi daerah guna meminimalkan interaksi uang tunai dan memberi transparansi bagi warga maupun pihak terkait.

Digitalisasi dapat mengurangi peluang korupsi dan meningkatkan akuntabilitas secara signifikan.

Retribusi liar di Manokwari bukan hanya soal pelanggaran kecil dari individu atau kelompok tertentu, tetapi soal kegagalan sistemik yang membutuhkan perbaikan dari tingkat regulasi hingga implementasi.

Fenomena ini harus dilihat sebagai alarm bagi daerah bahwa pembangunan belum dapat dikatakan berhasil jika pelayanan publik belum dapat dijamin bebas dari praktik koruptif dan pelanggaran aturan.

Pada akhirnya, keberhasilan daerah dalam menghapuskan praktik retribusi liar tidak hanya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha, tetapi juga membawa efek positif bagi iklim pemerintahan daerah yang lebih transparan, akuntabel, dan berdaya saing tinggi.

Inilah kerja bersama yang tidak hanya membutuhkan keberanian dan integritas dari aparatur daerah. Tapi juga partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat guna mewujudkan Manokwari yang tertib, bermartabat, dan siap bertransformasi sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan pelayanan publik yang berkeadilan.

(*) Penulis adalah seorang pensiunan guru SMA dan ketua Yayasan Wion Susai Papua. Tinggal di Amban Manokwari, Papua Barat.