Raja ampat, Petarung.org- Pemuda Kampung Manyaifun menggelar konferensi pers Sabtu (10/5/2025). Mereka menyuarakan keresahan yang menjadi ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati di Raja Ampat, akibat ekspansi pertambangan nikel yang tak terkendali.
“Kami tidak ingin merayakan ulang tahun ini dengan pura-pura bahagia. Di balik perayaan, ada luka mendalam yang sedang menganga. Hutan kami ditebang, laut kami tercemar, dan ruang hidup kami digusur atas nama investasi,” tegas Roni Mambrasar, tokoh pemuda Kampung Manyaifun.
Raja Ampat, pulau surga yang selama dua dekade terakhir dikenal dunia sebagai ikon pariwisata bahari dan pusat konservasi global. Dengan gugusan pulau, laut sebening kristal, terumbu karang beragam, dan habitat biota laut langka seperti pari manta dan penyu sisik, Raja Ampat adalah jantung dari segitiga karang dunia.
Namun menurut Roni Mambrasar, ada sisi gelap yang tak terlihat di balik brosur wisata. Pulau surga di Tanah Papua itu mulai koyak. Pohon-pohon di sana ditebang, tanah dikeruk, dan laut mulai keruh.
“Sedimentasi dari tambang menutup karang, menghambat fotosintesis, dan membunuh ekosistem laut perlahan. Ini kejahatan lingkungan yang legal karena dilegalkan oleh izin tambang,” ucapnya.
Mambrasar mengingatkan, aktivitas pertambangan akan membawa konsekuensi serius seperti pencemaran logam berat di laut, deforestasi, privatisasi wilayah pesisir, hingga konflik horizontal antarwarga.
“Kalau perusahaan mulai beroperasi, jangan salahkan rakyat kalau nanti muncul konflik sosial. Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, ini tentang keadilan,” ucapnya.
Katanya, rencana ekspansi PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele dengan luas 2.194 hektare adalah lonceng bahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Mega proyek ini dianggap tidak hanya berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem laut, juga akan mengganggu kehidupan sosial ekonomi warga.
“Kami petani, nelayan, pemandu wisata, semua hidup dari alam. Kalau tambang masuk, kami bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan identitas,” kata Mambrasar.
Raja Ampat bukan lagi jantung konservasi dunia, tapi jantung investasi tambang. Hutan hilang, sedimentasi, laut berubah warna, terumbu karang rusak, ikan menghilang, dan masyarakat dimiskinkan.
“Kami hanya minta satu, lindungi rumah kami. Jangan biarkan Raja Ampat berubah jadi kisah pilu tentang surga yang dirampas,” kata Mambrasar. (CR1)


