Oleh : Andi Asmuruf, SH. MH
Sekalipun semangat pembangunan itu didasarkan pada UU. NO 21 tahun 2001, penduduk Papua masih tetap penduduk miskin. Dimana dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin secara nasional. Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua mengatakan bahwa 81,52% rakyat miskin di Papua. dan Data BPS Pusat menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di seluruh Indonesia. Meskipun dana triliun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua dan Papua Barat, orang asli Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan, karena Elit Papua dan Aparatur Sipil Negara yang hidup Korupsi dan Nepotisme.
Tidak bisa disangkal atas realita, kita tidak boleh manipulasi kenyataan hidup masyarakat, memang masyarakat asli Papua mengalami keterpurukan dan kemiskinan. Dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek, sementara penduduknya urutan pertama termiskin. Masyarakat mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukan yang dimainkan oleh elit mereka sendiri, dipermainkan oleh sesama orang Papua sendiri yang duduk sebagai ASN
sebenarnya resep manjur mensejahterakan rakyat papua lewat pemekaran wilayah dan hal itu yang mendorong masyarakat akra rumput berjuang untuk hadirkan mimpi tentang pemekaran itu, bahkan kemiskinan dan ketertinggalan adalah dalang dari semua semangat untuk hadirkan provinsi supaya, masyarakat kecil hidup sejahtera bukan kehidupan ASN yang semakin mewah dan berfoya foya
Kemiskinan Dalang Pemekaran
Pemekaran wilayah (Papua Barat Daya) yang saat ini Para ASN nikmati adalah isu primadona, namun yang menjadi perhatian penulis adalah pemekaran Provinsi Papua Barat Daya (PBD) atau apapun namanya kelak yang telah diperjuangkan belasan tahun terakhir, dimana diskursus politiknya mempunyai tujuan utama untuk Percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua Barat yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk.
Pemekaran PBD telah lama menjadi obrolan warung kopi di kalangan masyarakat. Lalu, mengapa kita perlu mengulas wacana ini? Pertama, ini realitas politik lokal yang penuh sejarah, emosional dan mitos yang melatarinya. Dan Kedua, isu pemekaran di wilayah Papua Barat semua kontroversi tapi tetap dibutuhkan karena faktual. Bagi sebagian para elit Politik pemekaran wilayah direpresentasikan sebagai satu-satunya alternatif terbaik yang mampu menjawab keterpurukan masyarakat, untuk bangkit dari kubangan penderitaan, terlepas dari penyakit demokratisasi yakni suburnya sentimen emosional dan primordialisme di era informasi dan keterbukaan saat provinsi hadir ini. tugas kita kerja jujur dan betul-betul kerja melayani rakyat dan kerja takut Tuhan, bukan provinsi baru ini harus jadi lahan untuk ASN hidup mewah, dan membuat jarak dengan masyarakat.
selaku Ketua Umum yang juga Deklarator lahirnya Provinsi Papua Barat Daya (PBD) secara tegas meminta Kapolda PBD yang baru ditunjuk dan Kejaksaan Tinggi untuk segera melaksanakan pemeriksaan audit keuangan Perjalanan Dinas Berganda ini sebagai laporan pengaduan keuangan yang sangat merugikan negara dan masyarakat atau memperkaya diri sendiri dan tidak membangun masyarakat dengan baik.
Karena ternyata itu disalahgunakan oleh pejabat di lingkup Pemerintahan Provinsi PBD sebagaimana hasil pemeriksaan dari BPK dan DPD RI Komite IV pada tanggal 15 November 2024 lalu.
Deklarator menegaskan bahwa Provinsi PBD ini diperjuangkan atas aspirasi masyarakat bagian barat daya mendasari UU RI No 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua Pasal 76 yang diperjuangkan selama 16 tahun 7 bulan.
Sejarah lahirnya Otsus berawal dari tim 100 orang Papua terdiri dari tokoh adat, tokoh Masyarakat, tokoh agama, tokoh Perempuan, dan tokoh pemuda mewakili seluruh rakyat Papua berangkat ke Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999.
Mereka datang ke Istana Negara menghadap Presiden BJ Habibie dan meminta keluar dari Indonesia alias Merdeka. Merespon itu, Pemerintah Indonesia menetapkan TAP MPR RI Nomor 4/1999 tentang kebijakan pelaksanaan Otonomi daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
Maka lahirlah UU khusus yang disusun dan dibuat oleh orang Papua itu sendiri dan dibawa untuk disahkan oleh negara. Bukan dibuat oleh negara Indonesia sehingga harus mengerti Otsus ini dengan baik.
Jadi Provinsi Papua Barat Daya ini hasil perjuangan melalui kajian ilmiah selama 16 tahun 7 bulan.
Mengingat aturan di Indonesia ini tumpang tindih sehingga Provinsi PBD ini hadir bukan hadiah dari Pemerintah melainkan berdasarkan kajian ilmiah dan aspek hukum serta fakta dan bukti sejarah juga sumber tertulis secara autentik.
Setelah itu disampaikan kepada negara dan lembaga Pemerintah yang ada di Republik Indonesia untuk mengetahui perjuangan di masa kami tim deklarator sebagai pelaku dalam perjuangan Provinsi PBD.
Maka kami sangat menyesal dan kecewa atas pengelolaan keuangan yang tidak sesuai dengan prosedur tata kelola keuangan yang baik sebagaimana yang diharapkan.
Orang yang dipercayakan sebagai Kepala Badan Keuangan pun bukanlah berlatar belakang Sarjana Keuangan dengan jajaran. Maka wajarlah terjadi perjalanan dinas perganda. Karena ASN yang datang dari kabupaten/kota yang tidak pernah mengelola keuangan di OPD mengakibatkan terjadinya temuan penyimpangan administrasi keuangan seperti ini.
Kemudian, tidak diaturnya pada regulasi atau Pergub dapat mengakibatkan kerugian negara sebagaimana hasil pemeriksaan BPK terhadap APBD Provinsi Papua Barat Daya bersama Komite IV DPD RI pada reses pertamanya di PBD.
Maka kami atas nama masyarakat Indonesia meminta kepada Kapolda Papua Barat Daya dan Kejaksaan untuk segera melakukan pemeriksaan audit keuangan dan menindaklanjuti proses hukum sebagai laporan pengaduan dari masyarakat Sorong Raya.
Tim Deklarator dulu mimpi dan swadaya sendiri dengan biaya atau keuangan sendiri untuk memperjuangkan Provinsi Papua Barat Daya, dibangun lain daripada yang lain karena anak negeri.
Seorang ayah ini sudah siap sebagai bapak-bapak pembangunan yang berkelanjutan telah terbukti di mana-mana di tanah Papua tidak ada temuan keuangan atau program kegiatan lainnya seperti hari ini mendapat disclaimer pengeluaran kita sesuai prosedur keuangan yang sangat menyimpang.
Dari temuan BPK, 31 miliar perjalanan dinas berganda yang telah disetor ke kas negara baru 7 miliar sedangkan yang sisa 24 miliar belum di setor.
Pemilukada tinggal 10 hari saja, apakah utang ini akan diserahkan kepada Gubernur yang baru atau Penjabat yang lama untuk mempertanggungjawabkan utang perjalanan dinas berganda tahun 2023 di Pemerintah Provinsi PBD.
Tim Deklarator menegaskan ini segera diselesaikan agar mencegah hal-hal yang nantinya akan dikerjakan oleh pemimpin baru seperti Gubernur definitif dan semua stakeholder yang ada di Pemerintahan Provinsi PBD mengingat 10 hari lagi Papua Barat Daya akan memiliki pemimpin baru yang akan memimpin daerah ini 5 tahun kedepan.
Tim Deklarator berharap sepenuhnya dan seluruh masyarakat Sorong Raya menyerahkan temuan 31 miliar perjalanan dinas berganda Pemerintah Provinsi PBD kepada pihak berwajib dalam hal ini Kapolda dan Kejaksaan Tinggi serta BPK maupun KPK agar segera diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta serius dan bertanggung jawab sesuai sila ke 5 Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Proses hukum harus segera dilakukan guna memberantas setiap oknum-oknum kepala dinas di lingkup Pemerintah Provinsi PBD yang melakukan korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama di wilayah Papua Barat Daya dan Papua lainnya. Jika benar ada motif dan niat Korupsi dalam perjalanan Dinas Berganda di Papua Barat Daya, maka itu hal yang memalukan Rakyat sipil yang hidup mereka miskin dan kita jadikan dalang dan isu perjuangan pemekaran untuk hadirkan provinsi, karena para ASN nya gagal menggunakan peluang provinsi ini untuk kebaikan masyarakat sipil asli Papua untuk wujudkan mereka hidup sejahtera, damai dan bahagia di tanah ini.
(*) Penulis Adalah Ketua Tim Deklarator Papua Barat Daya