SORONG, Petarung.org- Pada Jumat 11 November 2022 di Kantor Kementerian Dalam Negeri RI,Jakarta, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengumumkan dan meresmikan 3 daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua. Ketiga DOB itu adalah Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Mungkin ini berita gembira bagi sebagian orang, tetapi bukan untuk pemilik hak ulayat.

Hal ini membuktikan bahwa  sepanjang tahun 2021-2022, aksi penolakan pemekaran DOB dilakukan hampir di seluruh Tanah Papua (Sorong-Merauke – Jayapura). Suara penolakan ini tidak didengarkan oleh para pengambil kebijakan di Papua dan di Jakarta. Sejak diresmikannya DOB itu, terbuka lebar kran investasi ke Tanah Papua. Daerah Papua Barat Daya dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Papua Tengah dengan persoalan Block Wabu, Migas dan lagi trend adalah Papua Selatan yakni lanjutan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang sekarang lebih dikenal dengan Program Strategis Nasional (PSN).

Setahun diresmikan DOB Papua Selatan, pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yakni Airlangga Hartarto, mengeluarkan Peraturan Menko Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Selang 5 bulan kemudian pada 19 April 2024, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024 tentang Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula, dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, dimana Bahlil ditunjuk sebagai Ketua Satgasnya. Belum lagi ditambah dengan pengiriman alat berat dan penambahan pasukan militer untuk proyek tersebut. Dalam laporan Yayasan Pusaka Bantala Rakyat, proyek ini akan membabat lahan atau hutan seluas  2 juta hektar.

“Lima batalyon di lima daerah di Papua bakal bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan masyarakat setempat untuk menanam komoditas pangan utama, salah satunya padi”, ungkap Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto

Pada sisi lainnya, masyarakat pemilik hak ulayat, Suku Marind yang terdampak PSN ini melakukan aksi protesnya. Pada Agustus 2024, masyarakat adat dari Kondo sampai Digul (Merauke) melakukan penolakan. Banyak tuntutan yang disampaikan oleh pemilik hak ulayat. Berikut ini beberapa tuntutan yang disampaikan dalam sepanjang aksi penolakan

“Kami bisa hidup tanpa sawit dan tebu tapi tidak bisa hidup tanpa tanah dan hutan”. “Bapak menteri, bapak presiden tunggu kami sekolah dolo, baru nanti bapak bawa datang perusahaan, kalo bisa bapak dorang bangun sekolah dolo, supaya kita jangan jadi penonton di atas negeri kami sendiri”

“Masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang dan Okaba, secara terbuka dihadapan pejabat Gubernur Papua Selatan telah menyatakan menolak proyek cetak sawah baru dan tanaman lain, yang menggusur tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan masyarakat adat tanpa ada musyawarah dan persetujuan secara bebas dari masyarakat adat dan pemilik tanah. Namun perusahaan selalu dikawal aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat”

Dari pihak Gereja Katolik, Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr.Petrus Canisius Mandagi mengeluarkan pernyataan mendukung Proyek Nasional Strategis tersebut. Tersebar sebuah video terkait pernyataan Mgr. Petrus Mandagi yang menyatakan bahwa Proyek Strategis Nasional di Merauke merupakan proyek kemanusiaan. Penyataan tersebut dikritik oleh banyak pihak seperti NGO/LSM yang bergerak di isu lingkungan dan masyarakat adat pemilik hak ulayat khususnya marga Moiwend dan Gebze. Kedua marga ini dengan tegas menolak PSN dan meminta Uskup Mandagi harus meminta maaf kepada masyarakat adat.

Sementara itu pada hari Senin 11 November 2024, Pendeta Benny Giyai sebagai Moderator Dewan Gereja Papua dan Pastor John Bunay,Pr selaku koordinator umum pastor pribumi bersama para pendeta dan pastor pribumi melalui jumpa pers mereka menyatakan bahwa menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Tebu 2 Juta hektar serta Proyek Strategis Nasional Sawah 1 Juta hektar di Kabupaten Merauke, dan juga transmigrasi. Alasan mendasar penolakan tersebut dikarenakan oleh karena PSN merusak ekosistem, hak – hak hidup masyarakat adat dan transmigrasi dapat menimbulkan ketegangan sosial dan juga dapat menggeser pertumbuhan populasi orang asli Papua.

Dalam debat terakhir pemilihan gubernur Provinsi Papua Selatan, baik dalam debat maupun dalam janji paslon dihadapan publik setelah debat mereka mengungkapkan hal yang terkait dengan masyarakat adat di Merauke. Pertama, Paslon Darius Gewilom dan Yusak Yeluwo berjanji bahwa mereka akan mengadakan pemetaan tata ruang wilayah tanah adat di Merauke, Boven Digul, Mapi, dan Asmat, karena menurut mereka investasi masuk menjadi masalah tanah adat di Papua Selatan.

Kedua, paslon Nicolaus Kondomo dan H.Baidin Gurita, dalam menjawab pertanyaan pelanggaran hak masyarakat adat, Nicolaus  mengatakan bahwa orang Papua harus bersyukur kepada karena Papua Selatan merupakan langkah strategis untuk membangun kemakmuran dan hak – hak rakyat atau hak – hak ulayat harus diakui, sebab undang – undang Negara juga mengakui hak ulayat itu.

Menurutnya perlu ada sosialisasi agar masyarakat mengakui benar pembangunan ini untuk membangun masyarakat. Jangan tiba – tiba langsung datang karena masyarakat akan kaget. Baginya masyarakat Papua Selatan sungguh – sungguh terbuka untuk pembangunan. Baidin mengatakan bahwa perlu duduk bersama OPD dan MRP supaya bisa tahu terkait dengan aspirasi masyarakat.

Ketiga, paslon Romandus Mbaraka dan Albertus Muyak turut mengatakan bahwa ada potensi – potensi di Wilayah seperti Asmat dengan perikanannya, Mapi yang memiliki perikanan dan perkebunan dan Boven Digul yang mempunyai maining (sumber material) dan perkebunan perlu dapat dikelolah dengan bijaksana, serta menghargai kepemilikan ulayat masyarakat setempat dan taat kepada lingkungan.

Keempat, paslon Apolo Safanpo dan Paskalis Imadawa mengatakan bahwa perijinan investasi untuk semua sektor perikanan, perkebunan, peternakan sesuai dengan semua potensi yang ada. Kendati demikian mereka menambah juga bahwa perlu tetap menjaga keseimbangan dengan tetap memperhatikan hak – hak masyarakat adat, lokal, dan terutama orang asli Papua. Menurut mereka semua investasi yang masuk selain memberi keuntungan bagi daerah tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Pada tanggal 2 Desember 2024, Masyarakat adat yakni suku Malind, suku Makleuw, suku Khimaima, dan suku Yei dari distrik Ilwayab, Ngguti, Tubang, Malind, Eligobel, Kimaam, Okaba mengatakan bahwa proyek strategis nasional dilakukan tanpa ada kesepakatan dalam prinsip free prior informed consent, PSN juga dilakukan tanpa kajian sosial dan lingkungan hidup, PSN juga merusak hutan masyarakat adat, pengrusakan savanna, pengrusakan lahan rawa, dan pengrusakan lahan gambut.

Berdasarkan persoalan yang diuraikan di atas, Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) se-Papua menyampaikan prihatin dan pernyatannya sebagai berikut:

  1. SKPKC se-Papua mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional yang mengambil tanah – tanah adat masyarakat adat secara sepihak di Merauke.
  2. SKPKC se-Papua mendesak para pengusaha agar segera menghentikan pengoperasian alat berat exavatornya yang merusak hutan dan tanah masyarakat adat di Merauke.
  3. SKPKC se-Papua mendesak elit – elit politik lokal Merauke untuk segera bersama – sama dengan masyarakat adat bersuara, agar Proyek Strategis Nasional tebu dan sawah segera dihentikan karena sangat merugikan dan merusak hutan – hutan masyarakat adat di Merauke.
  4. SKPKC se-Papua mendesak pimpinan DPD RI, Ketua Komite DPD RI, anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan agar meminta Presiden RI dan Kementerian Negara terkait proyek strategis nasional Merauke untuk menghentikan proyek ini.
  5. SKPKC se-Papua mendesak perusahaan Jhonlin Group dan sepuluh perusahaan tebu serta bioethanol untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional Merauke yang membuat pengrusakkan hutan secara masif (besar – besaran).
  • Rekomendasi:

Berikut ini beberapa rekomendasi seperti dilansir MonitorPapua.com Jumat (20/12/2024)

 1. SKPKC se-Papua meminta kepada Presiden RI bersama Kementerian terkait untuk meninjau kembali dan menghentikan proyek strategis nasional Merauke, karena merusak hutan,savana, rawa, lahan gambut, flora dan fauna yang ada di tanah – tanah masyarakat adat di Merauke.

  1. SKPKC se-Papua meminta Bupati, Gubernur, DPR Kabupaten dan DPR Provinsi Papua Selatan untuk meninjau dan mengevaluasi proyek strategis nasional, agar segera dihentikan karena sangat merugikan masyarakat adat Merauke, dimana tanah, hutan, hewan, mahkluk hidup lainnya dieksploitasi dan dibuat rusak.
  2. SKPKC se-Papua meminta pada Perusahaan Jhonlin Group dan sepuluh perusahaan tebu dan Bioethanol mengevaluasi proyek strategis nasional yang sedang mereka kerjakan karena merusak tatanan kehidupan makhluk hidup yang ada di tanah – tanah adat masyarakat Merauke.
  3. SKPKC se-Papua meminta pemerintah pusat dan daerah meninjau dan mengevaluasi pemilik 2000 exavator agar segera menghentikan pekerjaan mereka karena merusak ekosistem siklus kehidupan flora (tumbuhan – tumbuhan) dan fauna (hewan – hewan) yang ada di tanah – tanah adat milik masyarakat adat Merauke.
  4. SKPKC se-Papua meminta pada pihak pemerintah baik pusat dan daerah untuk mengupayakan reboisasi (penanaman kembali) hutan – hutan masyarakat adat Merauke telah yang mengalami kerusakan.

Demikianlah beberapa pokok pemikiran dari kami. Atas perhatiannya disampaikan terimakasih yang berlimpah. Sorong, 17 Desember 2024. Salam dan Hormat Kami

RP Alexandro Rangga OFM (Direktur SKPKC Fransiskan Papua)

RD Lukas Lega Sando (Direktur SKP Keuskupan Agats)

Saul Wanimbo (Ketua SKP Keuskupan Timika  Papua)

RP Heribertus Lobya, OSA (Direktur SKPKC OSA Christus Totus) (CR1)