Maybrat, Petarung.org- Pada suatu siang yang lengang di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, suara gemericik air dari mata air Kali Susumuk terdengar mengaris deras.
Area hutan penyangga sekitar hingga bantaran kali dan mata air Kali Susumuk tampak masih alami. Walaupun sebelumnya telah tercemar oleh berbagai jenis sampah yang terbawa aliran air dari drainase yang rusak saat musim hujan.
Kali Susumuk atau disebut Kali Libur oleh warga lokal, berada di pinggiran jalan utama yang menghubungkan wilayah Ayamaru dan Aitinyo dengan Kumurkek, ibu kota Kabupaten Maybrat.
Jalan ini berada sangat dekat dengan area sumber mata air kali Susumuk yang hanya terpaut beberapa meter di bawahnya. Kali yang menyimpan nilai kosmologis, ikatan sejarah dan tradisi bagi warga lokal.
Pada 8 Juni 2025, Tim Investigasi Petarung Papua melakukan observasi langsung di wilayah mata air Kali Susumuk. Hasilnya mencemaskan!
Saluran drainase yang seharusnya mengalirkan air ke arah yang benar, justru mengalami penyumbatan parah. Saluran sepanjang 39 meter dengan lebar 2 meter itu kini tak lagi menyalurkan air.
Tertutup oleh endapan sisa galian batu kapur dan tumpukan sampah rumah tangga, saluran tersebut seolah menjadi bendungan kecil yang perlahan meluapkan air kotor ke arah mata air.
Lebih dari itu, sebagian warga secara sengaja menutup aliran drainase untuk membuka jalan menuju rumah mereka. Praktik ini mungkin terasa praktis secara individual, namun menciptakan dampak ekologis serius secara kolektif.
Air yang gagal mengalir tergenang, meluap, lalu membentuk aliran baru menuju mata air kali Susumuk di bawahnya. Membawa serta sedimen tanah, batuan kapur, dan berbagai jenis sampah organik dan non organik yang perlahan membunuh sumber kehidupan itu sendiri.
Mata Air yang Tercekik
Dampaknya kini nyata. Kali Susumuk mengalami pendangkalan pada 20 titik, dengan lebar endapan berkisar antara 2,5 hingga 5 meter dan panjang 13 meter.
Kedalaman endapan pun mencolok:14 titik memiliki kedalaman antara 40 hingga 70 cm, sementara 6 titik lainnya antara 4,5 hingga 5 cm. Endapan ini bukan hanya memperburuk kualitas air, tapi juga menurunkan debit mata air secara drastis.
Dalam penyusuran dasar kali, relawan Petarung Papua menemukan 83 jenis sampah berbeda. Ironisnya, sumber sampah terbesar berasal dari lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi teladan lingkungan: gereja, taman kanak-kanak, bengkel, pemukiman, hingga pasar kampung.
Sungguh memprihatinkan karena masyarakat belum sadar bahwa mereka sedang mencemari sumber kehidupan yang perlu diwariskan bagi anak cucu mereka sendiri.
Ibu Angganeta Iek, seorang warga Kampung Susumuk, mengenang masa lalu dengan getir:
“Dulu, air dari anak kali Susumuk bisa langsung diminum tanpa dimasak. Tapi setelah jalan dibangun di atas sumber mata air, kami semua sekarang menimba air minum di Kampung Tehahite.”
Cerita Ibu Angganeta adalah refleksi dari transisi ekologis dan sosial yang sedang melanda Kabupaten Maybrat, daerah pegunungan batu kapur ini. Sebuah transisi yang jika tak ditangani dengan cepat, akan berubah menjadi bencana permanen.

Drainase Rusak, Ekosistem Luruh
Drainase berasal dari kata “drainage” dalam bahasa Inggris, yang berarti menguras atau membuang air.
Dalam konteks tata kota dan perdesaan, sistem drainase memiliki fungsi vital untuk menjaga stabilitas tanah dan mencegah genangan air yang bisa mengancam infrastruktur dan sumber air. (Sumber: Repository LPPM Unila, Sistem Drainase Saluran Terbuka).
Maybrat, secara geografis, adalah wilayah perbukitan kapur yang dilapisi tanah liat dan berpasir. Dengan suhu antara 24°C – 31°C dan kelembapan tinggi hingga 86%, serta curah hujan mencapai 676 mm per tahun (Bina Marga, 2024). Karena itu daerah ini sangat rentan terhadap akumulasi air permukaan.
Tanpa sistem drainase yang baik, air hujan yang turun nyaris sepanjang tahun akan membawa serta sedimentasi besar ke wilayah rendah, termasuk ke mata air yang menjadi sumber utama kebutuhan masyarakat.
Air sendiri bukan sekadar unsur fisik, melainkan elemen kehidupan. Ia mengalir di setiap lapisan kehidupan manusia, dari tubuh kita hingga kebudayaan dan spiritualitas.
Dalam ilmu hidrologi, mata air adalah titik pelepasan air tanah dari akuifer, sumber air bawah tanah yang vital. (Sumber: Bear, 1979; Robert J. Kodoatie, Tata Ruang Air Tanah).
Ketika ekosistem mata air terganggu, maka siklus kehidupan pun terguncang.
Krisis Ekologi sebagai Krisis Sosial
Masalah drainase di Susumuk bukan hanya soal teknis pembangunan yang gagal. Ia adalah potret kecil dari kegagalan besar dalam tata kelola lingkungan hidup di Maybrat, Tanah Papua dan Indonesia pada umumnya.
Sejumlah wilayah pemekaran baru di Tanah Papua dengan sekian proyek infrastruktur dilakukan tanpa kajian dampak lingkungan yang mendalam. Jalan-jalan dibangun membelah hutan. Melintasi kawasan sumber air tanpa mempertimbangkan konsekuensi ekologis jangka panjang.
Dalam perspektif teori kritis ekologi (ekologi politik), kerusakan lingkungan seperti ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan, relasi ekonomi, dan struktur ketimpangan.
Seperti dikemukakan David Harvey (2005), perusakan alam di dunia ketiga (negara berkembang, termasuk di Tanah Papua), seringkali merupakan hasil dari praktik akumulasi dengan perampasan (accumulation by dispossession). Di mana ruang hidup masyarakat dikorbankan demi pembangunan yang tidak berkeadilan.
Rekomendasi untuk Masa Depan yang Basah dan Bersih
Melalui temuan ini, komunitas Petarung Papua yang berbasis di Susumuk, Maybrat, memberikan sejumlah rekomendasi penting terhadap persoalan Kali Susumuk di Distrik Aifat, sebagai berikut:
Pertama, Perlu Normalisasi Drainase sepanjang 39 meter agar aliran air kembali lancar dan tidak merusak sumber air. Kedua, Pendidikan dan sosialisasi publik, terutama kepada warga dan institusi lokal, agar tidak menutup drainase demi akses pribadi.
Ketiga, Peninjauan proyek-proyek pembangunan di sekitar mata air oleh pemerintah daerah agar tidak mengorbankan ekosistem. Keempat, Pemantauan rutin terhadap kualitas air dan kondisi drainase oleh instansi teknis yang berwenang.
Kelima, Peningkatan kesadaran ekologis melalui kurikulum lokal, kampanye lingkungan, dan gerakan warga berbasis komunitas.
Penjagaan mata air bukan sekadar tugas teknis, tetapi tanggung jawab moral bersama. Ini adalah perjuangan demi keberlanjutan hidup.
Bila hari ini kita biarkan drainase mati dan mata air tercemar, maka esok hari kita akan meratapi kekeringan yang kita ciptakan sendiri. (Imanuel Tahrin)