Oleh: Imanuel Tahrin (*)
Pada hari Selasa, 7 Oktober 2025, di Keyum, Distrik Ayamaru Timur, Provinsi Papua Barat Daya, sebuah percakapan ringan di sebuah rumah makan melahirkan kembali kisah tentang semangat dan ketekunan.
”Bagaimana kabar usaha lele, Kawan?” sapa saya kepada Yoppy Homer, seorang kawan lama di SMP Ayamaru. Pertanyaan sederhana itu langsung menyulut bara semangatnya, menjelaskan kisah dua tahun lebih perjuangan budidaya ikan lele yang dimulai dari inspirasi sederhana hingga menjadi mata pencaharian.
Meniru, Merintis, dan Melayani Usaha ini, Yoppy memulai ceritanya, berakar dari sosok yang menginspirasi seorang senior yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sorong. Bukan sekadar kagum, Yoppy memilih jalan meniru dan berkolaborasi. Ia tak sungkan belajar langsung, menjadikan tempat pemeliharaan ikan lele di kampungnya, Kampung Sauf, Distrik Ayamaru Selatan, sebagai titik tolak.
”Kami lantas memutuskan untuk membangun kolam terpal sederhana,” katanya. Keputusan itu kini telah menjadi usaha yang bergulir selama lebih dari dua tahun, sebuah bukti nyata bahwa niat baik yang diiringi aksi bisa melampaui segala keterbatasan.
Perjalanan ini bukannya tanpa aral melintang. Yoppy mengakui bahwa keterbatasan modal memaksanya menggunakan terpal manual yang rapuh. “Terpal manual itu gampang rusak, harus diganti setiap dua bulan,” keluhnya. Ia mendambakan terpal berkualitas baik, namun akses modal terasa jauh. “Belum ada uang, tidak ada bantuan dari pemerintah,” ujarnya jujur.
Namun, di tengah segala keterbatasan itu, ia menemukan sebuah filosofi bisnis yang kokoh: modal pembelanjaan kecil, tetapi keuntungannya bisa sangat besar. Kunci keberhasilan itu, menurut Yoppy, bukan terletak pada kemewahan fasilitas, melainkan pada kualitas layanan dan cara menjual.
”Kami mengutamakan kepuasan konsumen. Intinya, kita sama-sama merasa puas,” tegasnya. Prinsip sederhana ini terbukti ampuh. “Puji Tuhan pendapatan sangat besar. Semua itu kembali kepada kita masing-masing, mau mulai atau tidak,” katanya, merangkum esensi dari etos kerjanya.
Bahkan, kecepatan penjualan menjadi penanda kualitas usahanya. “Paling lambat dua jam, paling cepat satu jam, sudah habis,” ujarnya bangga. Dengan memilih menjual secara per ekor, ia tidak hanya mengikuti kebiasaan dagang mama-mama di pinggir jalan, tetapi juga merangkul dan membangun kedekatan dengan tradisi lokal Maybrat.
Berkah dan Tantangan Infrastruktur Kabupaten Maybrat memiliki berkah alam yang melimpah banyak sumber mata air, sebuah kondisi ideal untuk perikanan. Namun, potensi ini masih terhambat. Yoppy dan rekan-rekannya masih terkendala oleh minimnya fasilitas pendukung untuk membangun kolam yang lebih permanen dan tahan lama.
Mereka berharap Pemerintah Kabupaten Maybrat dapat melihat potensi nyata ini dan memberikan keringanan, terutama karena sudah ada beberapa warung makan yang menjadi langganan tetap mereka.
Namun, alih-alih berlama-lama dalam keluhan, Yoppy mengangkat sebuah refleksi mendalam bagi Generasi Muda Maybrat.
”Jangan kita hanya menganggap bahwa PNS dan Politik saja yang bisa kita geluti,” tekannya, menyuarakan panggilan untuk kemandirian. Ia mengajak generasi muda untuk berani merintis jalan lain ternak lele, kios, pertanian, perkebunan, atau kafe.
Usaha-usaha ini, menurutnya, bukan sekadar urusan perut pribadi. Usaha mandiri adalah cara untuk mengisi dan membangun Kabupaten Maybrat dari akarnya.
”Kalau PNS dan Politik butuh uang dan orang dalam,” tutup Yoppy, memberikan penekanan kuat, “Tetapi kalau usaha begini, kita hanya butuh kemauan dan uang itu saja sudah bisa jalan.”
Kisah Yoppy Homer, yang bermula dari inspirasi senior dan berwujud kolam terpal sederhana, adalah manifestasi nyata bahwa sukses sejati di Maybrat tidak bergantung pada jalur formal atau koneksi. Ia memilih wirausaha sebagai kemandirian, dan keberanian untuk memulai sebuah pelajaran bahwa dari kekurangan dan kesederhanaan pun, kemakmuran dapat diraih. SALAM
(*) Penulis adalah aktivis lingkungan dan pendiri Yayasan Peduli Tata ruang Maybrat tinggal di Susumuk Maybrat


