Oleh: Imanuel Tahrin (*)
Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, Jumat, 31 Oktober 2025, Pukul 15.00 WIT, langit di ufuk timur telah mengenakan jubah kelabu tebal, sebuah pertanda hujan besar yang akan segera turun.
Tepat pukul tiga sore, kami memutar kemudi, memulai perjalanan panjang dari Kampung Susumuk menuju Sorong. Jalanan yang meliuk-liuk di perbukitan seolah menyambut kami, menjanjikan petualangan yang tersimpan di balik setiap tikungan.
Pertemuan Tak Terduga di Pinggir Kampung Framu, perjalanan yang baru saja dimulai terhenti sejenak di Ayamaru, tepatnya di pinggiran Kampung Framu.Di sana, seorang Bapak berdiri di tepi jalan. Isyarat tangannya yang memohon tumpangan adalah panggilan takdir yang tak mungkin kami abaikan.
Kami menepi. Udara dingin mulai menyergap, dan rintik gerimis pertama jatuh bukan sekadar air, melainkan seperti taburan berkat yang membasahi bumi yang lama menanti.
Bapak itu mendekati mobil. “Anak, saya numpang turun di Kampung Sehu, Distrik Ayamaru Barat,” katanya dengan sopan. ”Mari, Bapak, silakan ikut,” sambut saya. “Ini sudah seperti anak sendiri.”
Kami menyambutnya masuk. Di tengah suara mesin yang menderu dan hawa dingin yang merayap, kami sepakat untuk bertukar nama. Beliau memperkenalkan diri sebagai Bapak Niko Bleskadit. “Ke Ayamaru tadi, Bapak, ada urusan apa?” tanya saya, memecah keheningan yang tersisa.Bapak Niko tersenyum. “Anak, tadi saya ke Ayamaru tujuannya untuk mengirim uang untuk anak perempuan saya yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Raja Ampat. Uang itu untuk biaya penyusunan laporan KKN-nya.”
Canda tawa ringan pun pecah. Walau pertemuan ini singkat, kami segera menemukan seorang teman cerita yang hangat, seorang pengembara yang membawa bekal kisah berharga di tengah gerimis yang mulai membesar.
Saat mobil menuruni tanjakan dan memasuki wilayah Kampung Soroan, rasa ingin tahu mendorong saya untuk bertanya tentang jejak leluhur di sana.
”Bapak, Kampung Soroan ini milik orang mana?
”Ini tempat Marga Duwit,” jawab Bapak Niko, matanya menerawang jauh. Beliau kemudian merinci peta kekerabatan marga yang kompleks: Marga Duwit terbagi menjadi beberapa sub-marga, yaitu Duwit Bomira, Duwit San, Duwit Sefaho (yang menjadi asal nama Kampung Sefahu, sebelum kemudian pindah ke Kambuaya menjadi Marga Kambuaya), Duwit Onon, Duwit Bauk, dan Duwit Hafliah.
Saya melanjutkan. “Kalau Marga Bleskadit sendiri, Bapak, ada berapa sub-marga?”
Beliau menyebutkan dengan bangga: “Ada Bleskadit Mere, Bleskadit Foyolu, Bleskadit Fle, Bleskadit Ogin, Bleskadit Bauk, dan Bleskadit Birofat.”
Kisah Perpindahan dan Pohon Fait
Napas cerita Bapak Niko semakin panjang, membawa kami jauh melintasi waktu, menelusuri sejarah perpindahan Marga Bleskadit.
”Awalnya, kami dari Ternate ke Seget. Kami tinggal di sana. Itu menjadi Marga Kokmala, tempat leluhur kami bermukim, namanya Bamla,” jelasnya.
”Kami kemudian pindah lagi ke Teminabuan, dan di sana menjadi Marga Kondologit. Lalu pindah ke Kampung Eles, hingga ke Sauf. Kami menetap di Sauf, sampai akhirnya adik dan kakak ini ribut atau berkelahi.”
Suaranya melembut, penuh makna warisan masa lalu: “Itulah mengapa kami yang dari garis adik ini kemudian pindah dari Sauf ke Foyolu. Letaknya dekat, kalau kita lewat Soroan dan Kampung Sehu. Di tengah-tengah sana ada kuburan dengan Pohon Fait yang tumbuh banyak.”
”Pohon Foyo dalam bahasa Tehit adalah Pohon Fait dalam bahasa Maybrat. Jadi, Foyolu adalah tempat orang Bleskadit yang tinggal di dekat Pohon Fait.”
Tiba-tiba, mobil melambat. Kami telah sampai di tujuan yang ditentukan oleh takdir perjumpaan singkat ini.
”Kita tiba di Kampung Sehu, Bapak,” ujar saya.”Anak, di sinilah saatnya kita berpisah,” balasnya.
Bapak Niko turun. Kisah tentang Marga Duwit dan jejak pengembaraan Marga Bleskadit itu sungguh menarik, menjadi melodi seru yang tak terduga, menemani hujan yang kini semakin deras.
Kami melanjutkan perjalanan dalam guyuran hujan itu, membawa serta oleh-oleh kisah persaudaraan dan jejak leluhur. Tepat pukul 17.00 WIT, kami tiba dengan selamat di Sorong. salam
Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini, aktivis lingkungan yang domisili di kampung Sususmuk penulis adalah pendiri Yayasan Petarung Papua


