Agus Tjakra Diredja (*)

Di era digital ini, media sosial telah menjadi jendela tak terbatas menuju kehidupan orang lain. Dari momen liburan impian hingga pencapaian karier yang mengagumkan, kita terus-menerus disuguhi potongan-potongan kisah hidup orang lain. Namun, pernahkah Anda berhenti sejenak dan bertanya, bagaimana sebenarnya paparan konstan ini memengaruhi diri kita?

Tak bisa dimungkiri, media sosial menawarkan banyak hal positif. Ia bak dua sisi mata uang digital, manfaat dan jebakan, Ia bisa menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya. Melihat teman meraih mimpi atau menjaga gaya hidup sehat dapat memicu semangat kita untuk berbuat serupa.

Kita juga bisa belajar hal baru, mulai dari resep masakan hingga tips keuangan, berkat konten-konten yang dibagikan. Yang terpenting, media sosial membantu kita tetap terhubung dengan keluarga dan teman yang jauh, menjaga silaturahmi tetap hangat.

Namun, di balik kilau positifnya, ada bayangan yang mengintai. Salah satu efek paling umum adalah perbandingan sosial. Kita cenderung membandingkan “sorotan” kehidupan orang lain — versi yang seringkali disaring dan diidealkan — dengan realitas kita sendiri. Ini dapat memicu perasaan tidak cukup, iri hati, bahkan rendah diri.

Psikolog menyebutnya sebagai Fear of Missing Out (FOMO), di mana melihat orang lain bersenang-senang membuat kita merasa gelisah atau tidak puas dengan kehidupan kita.

Terlebih lagi, paparan terus-menerus terhadap “kesempurnaan” di media sosial dapat mendistorsi realitas. Kita cenderung melupakan bahwa apa yang ditampilkan adalah fragmen, bukan keseluruhan cerita. Di balik foto liburan yang indah, mungkin ada drama perjalanan yang melelahkan. Di balik postingan karier yang sukses, mungkin ada perjuangan dan pengorbanan yang tak terlihat. Jika kita tidak hati-hati, ilusi ini bisa menimbulkan ekspektasi yang tidak realistis terhadap kehidupan kita sendiri, memicu kecemasan dan bahkan depresi.

Kunci untuk Navigasi Cerdas di Dunia Maya

Lalu, bagaimana kita bisa menikmati manfaat media sosial tanpa terjebak dalam jebakannya? Kuncinya adalah kesadaran dan kontrol.

Pertama, batasi waktu Anda berselancar. Alokasikan waktu khusus dan patuhi batasan itu. Kedua, pilihlah dengan bijak siapa yang Anda ikuti. Berhenti mengikuti akun yang secara konsisten membuat Anda merasa buruk atau tidak aman. Sebaliknya, penuhi feed Anda dengan konten yang menginspirasi, mendidik, atau memberikan hiburan positif.

Yang tak kalah penting, fokuslah pada perjalanan pribadi Anda. Ingatlah bahwa setiap orang memiliki jalur dan tantangannya sendiri. Daripada membandingkan diri dengan orang lain, fokuslah pada tujuan dan kemajuan Anda sendiri. Dan yang terakhir, jangan lupa untuk menghabiskan waktu di dunia nyata. Interaksi tatap muka, hobi di luar jaringan, dan momen tanpa layar seringkali lebih memuaskan dan menyehatkan bagi jiwa.

Media sosial adalah alat yang ampuh, dan seperti alat lainnya, dampaknya sangat tergantung pada cara kita menggunakannya. Dengan pendekatan yang lebih sadar dan terkontrol, kita bisa menyingkap ilusi di layar dan memanfaatkan platform ini untuk memperkaya hidup kita, bukan merusaknya.

Apakah Anda pernah merasa terpengaruh oleh paparan kehidupan orang lain di media sosial? Bagaimana Anda mengelolanya?

Di penghujung tulian ini, mari kita kembali merenung. Layar memang menawarkan jendela ke berbagai dunia, namun jangan biarkan ia mengaburkan keindahan dunia yang terbentang di sekitar kita. Ingatlah, setiap individu memiliki perjalanan uniknya sendiri, dengan tantangan dan kemenangan yang tak selalu terlihat di linimasa media sosial.

Mari bijak dalam berinteraksi, sadar akan ilusi yang mungkin tercipta, dan lebih fokus pada autentisitas diri. Dengan demikian, kita dapat mengubah jendela digital ini menjadi alat yang memberdayakan, bukan menjebak. Saatnya meletakkan sejenak layar, menarik napas dalam, dan kembali menikmati keindahan hidup yang sesungguhnya, di mana setiap momen adalah nyata dan setiap pencapaian, sekecil apapun, adalah berharga.

(*) Penulis adalah bloger kompasiana, tulisan ini disadur dari kompasana untuk kepentingan eduksi